Pengamat hukum Universitas Indonesia, misalnya, menyebut bahwa tindakan seperti ini bisa masuk kategori obstruction of justice digital, yakni upaya menghalangi penegakan hukum melalui ruang siber dan media.
Di media sosial, publik menyoroti peran para buzzer yang dianggap semakin sering muncul dalam kasus hukum besar.
Banyak warganet menilai bahwa praktik semacam ini mengikis kepercayaan terhadap media dan advokat yang seharusnya menjunjung tinggi etika profesi.
“Kalau media ikut jadi alat propaganda, siapa lagi yang bisa dipercaya?” tulis salah satu komentar di platform X (Twitter).
Baca Juga: Cek Fakta: Klaim Luhut Jadi Tersangka Kasus Korupsi Batu Bara Ternyata Hoaks, Ini Faktanya!
Penegakan Hukum Butuh Transparansi dan Literasi Publik
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya literasi digital dan media bagi publik.
Masyarakat perlu lebih kritis terhadap informasi yang beredar, terutama dalam kasus hukum berprofil tinggi.
Di sisi lain, lembaga hukum seperti Kejagung dan KPK juga dituntut lebih transparan dalam menyampaikan perkembangan kasus agar tidak memberi ruang bagi misinformasi.
Upaya memerangi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya di meja sidang, tetapi juga di ruang publik digital yang kini menjadi medan baru dalam membentuk kepercayaan masyarakat.***