Pengamat hukum Universitas Indonesia, misalnya, menyebut bahwa tindakan seperti ini bisa masuk kategori obstruction of justice digital, yakni upaya menghalangi penegakan hukum melalui ruang siber dan media.
Di media sosial, publik menyoroti peran para buzzer yang dianggap semakin sering muncul dalam kasus hukum besar.
Banyak warganet menilai bahwa praktik semacam ini mengikis kepercayaan terhadap media dan advokat yang seharusnya menjunjung tinggi etika profesi.
“Kalau media ikut jadi alat propaganda, siapa lagi yang bisa dipercaya?” tulis salah satu komentar di platform X (Twitter).
Baca Juga: Cek Fakta: Klaim Luhut Jadi Tersangka Kasus Korupsi Batu Bara Ternyata Hoaks, Ini Faktanya!
Penegakan Hukum Butuh Transparansi dan Literasi Publik
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya literasi digital dan media bagi publik.
Masyarakat perlu lebih kritis terhadap informasi yang beredar, terutama dalam kasus hukum berprofil tinggi.
Di sisi lain, lembaga hukum seperti Kejagung dan KPK juga dituntut lebih transparan dalam menyampaikan perkembangan kasus agar tidak memberi ruang bagi misinformasi.
Upaya memerangi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya di meja sidang, tetapi juga di ruang publik digital yang kini menjadi medan baru dalam membentuk kepercayaan masyarakat.***
Artikel Terkait
Jangan Daftar CPNS Dulu Sebelum Tahu! Ini Passing Grade Nilai SKD 2025 yang Jadi Penentu Lolos SKB
KPK Gerebek Dugaan Jual Beli Kuota Haji 2024, 6 Petinggi Travel Diperiksa, Nama Eks Menteri Muncul!
Terjangkit Sakit Radang Paru-paru, Anak Riza Chalid Dipindah ke Rutan Salemba Pusat demi Perawatan Kesehatan
57 Eks Pegawai KPK Siap Balik, Tapi Yudi Purnomo Malah Menolak: Lebih Baik Kritik dari Luar, daripada Kena Resistensi dari Dalam
Setahun Jadi ‘Kucing Istana’, Begini Perjalanan Bobby Kertanegara di Sisi Presiden Prabowo