ICW bahkan meragukan anggapan bahwa Harun berhasil menghindari kejaran hukum karena kepandaiannya bersembunyi.
Sebaliknya, mereka mencurigai adanya perintangan atau minimnya upaya nyata untuk membongkar jaringan di balik pelarian Harun.
Vonis ringan terhadap Hasto juga dinilai memperkuat asumsi bahwa ada perlakuan hukum yang tidak setara bagi pelaku korupsi yang memiliki kekuatan politik.
Sementara itu, dalam amar putusannya, Majelis Hakim yang dipimpin Rios Rahmanto menyatakan bahwa Hasto terbukti menyuap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU periode 2017–2022, dengan uang sebesar 57.350 dolar Singapura atau sekitar Rp600 juta.
Baca Juga: Distributor Asal Riau Mainkan 9 Ton Beras untuk Dioplos
Uang tersebut diberikan agar Wahyu memuluskan PAW dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku, anggota PDIP yang gagal lolos ke DPR dalam Pemilu 2019.
Namun dalam aspek dakwaan perintangan penyidikan, majelis menyatakan Hasto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Padahal, dalam fakta persidangan disebutkan bahwa Hasto sempat memerintahkan ajudannya, Kusnadi, dan petugas Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merusak barang bukti berupa ponsel agar tidak bisa ditelusuri oleh penyidik KPK.
Atas perbuatannya, Hasto didakwa dengan pasal berlapis, antara lain Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, pada akhirnya vonis yang dijatuhkan lebih ringan dari yang diharapkan publik dan aktivis antikorupsi.
ICW pun mendesak agar KPK dan lembaga terkait tidak berhenti pada putusan terhadap Hasto semata, melainkan melanjutkan proses hukum untuk menangkap Harun Masiku dan menelusuri seluruh pihak yang terlibat dalam skandal ini.
Penting bagi publik untuk terus mengawal kasus ini agar tidak menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan sistem pemilu bisa perlahan dipulihkan melalui tindakan tegas dan transparan dari aparat penegak hukum.***