Sebelumnya, pada 26 Juni 2025, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Sumatera Utara terkait proyek pembangunan jalan.
OTT ini menjadi pintu masuk terbongkarnya skema korupsi yang diduga melibatkan pejabat daerah dan pihak swasta.
Hanya dua hari berselang, tepatnya pada 28 Juni 2025, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Para tersangka terbagi dalam dua klaster berdasarkan lokasi proyek yang menjadi objek korupsi.
Klaster pertama mencakup empat proyek jalan di lingkungan Dinas PUPR Sumut, dengan tersangka Topan Obaja Putra Ginting dan Rasuli Efendi Siregar, pejabat pembuat komitmen sekaligus Kepala UPTD Gunung Tua.
Sementara klaster kedua berkaitan dengan dua proyek di lingkungan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut, dengan tersangka Heliyanto selaku pejabat pembuat komitmen.
Adapun dua pihak dari sektor swasta yang diduga sebagai pemberi suap adalah M. Akhirun Efendi, Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group, dan M. Rayhan Dulasmi Piliang, Direktur PT Rona Na Mora.
KPK mengungkap bahwa total nilai dari enam proyek yang terlibat dalam dua klaster itu mencapai Rp231,8 miliar.
Nilai ini tentu bukan angka kecil, dan membuka potensi kerugian negara dalam jumlah besar jika korupsi ini tidak diungkap secara tuntas.
Baca Juga: Hasto Kristiyanto Divonis 3 Tahun 6 Bulan, Isyarat Reformasi Internal Partai Makin Mendesak
Penelusuran terhadap pihak-pihak yang diduga memberi perintah kepada Topan Obaja menjadi kunci penting untuk membongkar jaringan lebih luas di balik kasus ini.
Tak hanya menyoroti pelaku lapangan, KPK juga menunjukkan komitmennya untuk membongkar aktor di balik layar yang selama ini kerap lolos dari jeratan hukum.
Dengan semakin dalamnya proses penyidikan, publik tentu berharap agar kasus ini tidak berhenti pada lima nama tersangka awal.
Penyelesaian tuntas dan menyeluruh menjadi satu-satunya jalan untuk memastikan praktik korupsi seperti ini tidak terus berulang.