Jurist Tan lalu menjalin komunikasi dengan pihak Google dan menyepakati skema co-investment sebesar 30 persen, dengan syarat bahwa seluruh perangkat TIK yang diadakan menggunakan sistem operasi ChromeOS.
Pola komunikasi yang dibangun menunjukkan bahwa proses pengadaan sejak awal telah diarahkan agar berpihak pada satu produk tertentu, tanpa proses evaluasi teknologi yang terbuka.
Ibrahim Arief, yang ditunjuk sebagai konsultan teknologi, bahkan menolak hasil kajian teknis pertama karena tidak memasukkan ChromeOS, lalu menyusun ulang kajian kedua yang dijadikan dasar pengadaan.
Baca Juga: Bukan Cuma Topan Ginting, Mantan Bupati dan Pejabat UPTD Kini Masuk Radar KPK Soal Dugaan Korupsi
Pada April 2020, pertemuan langsung antara Nadiem, Jurist, dan Ibrahim dengan pihak Google dilakukan guna menyusun strategi implementasi Chromebook dan layanan Workspace.
Kajian teknis tersebut kemudian digunakan sebagai justifikasi resmi, padahal telah diarahkan sejak awal untuk hanya memilih produk Google.
Tak berhenti di situ, dalam pelaksanaan proyeknya, para KPA dari jenjang pendidikan dasar dan menengah, Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah—ikut mengarahkan vendor tertentu untuk mengamankan proyek ini.
Salah satu vendor yang disebut terlibat adalah PT Bhinneka Mentari Dimensi, yang turut melakukan pemesanan unit secara mendadak di Hotel Arosa, Bintaro, pada malam 30 Juni 2020.
Baca Juga: KRL Dilempari Batu Saat Jalan, Pelaku Berhasil Ditangkap di Tempat, Terancam 15 Tahun Penjara!
Pihak vendor juga diduga aktif dalam menyusun juklak yang menetapkan spesifikasi hanya pada produk berbasis ChromeOS, sekaligus menentukan harga per paket sebesar Rp88,25 juta untuk setiap sekolah.
Laporan Kejagung menyebutkan bahwa tindakan rekayasa ini mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar.
Total kerugian ditaksir mencapai Rp1,98 triliun, terdiri dari mark-up harga laptop sebesar Rp1,5 triliun dan pembelian lisensi Chrome Device Management senilai Rp480 miliar.
Ironisnya, sebanyak 1,2 juta Chromebook yang diadakan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), karena keterbatasan infrastruktur serta sistem operasi yang tidak kompatibel dengan kebutuhan lokal.
Para tersangka dalam kasus ini dikenakan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP mengenai perbuatan bersama.
Baca Juga: Polisi, Mana Rekaman CCTV Jejak Kematian Diplomat Kemenlu, Publik Butuh Tahu