HUKAMANEWS - Perdebatan baru mencuat di tengah publik usai pengesahan Undang-Undang BUMN yang terbaru.
UU Nomor 1 Tahun 2025 menyebutkan bahwa direksi, komisaris, dan pengawas BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak dugaan korupsi di lingkungan perusahaan pelat merah.
Pasalnya, selama ini KPK hanya dapat memproses kasus yang melibatkan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum.
Masyarakat mulai merasa resah karena sektor BUMN selama ini dikenal sebagai wilayah yang rawan penyalahgunaan anggaran dan sarat potensi korupsi.
Apakah ini berarti KPK benar-benar tak bisa lagi menyentuh para pejabat tinggi BUMN?
Isu ini mencuat seiring diberlakukannya Pasal 9G dalam UU BUMN 2025 yang secara eksplisit menghapus status penyelenggara negara dari jajaran pimpinan BUMN.
Dengan kata lain, posisi direksi, dewan komisaris, hingga dewan pengawas kini tak lagi dibebani kewajiban hukum sebagaimana penyelenggara negara.
Akibatnya, mereka pun tidak diwajibkan menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK.
Baca Juga: Siap-Siap! vivo X200 FE Bakal Gebrak Pasar dengan Layar OLED 120Hz dan Baterai Jumbo 6500mAh
Hal ini tentu menjadi sorotan karena selama ini pelaporan harta kekayaan dianggap sebagai salah satu cara penting mencegah konflik kepentingan dan menelusuri potensi gratifikasi.
Sementara itu, Pasal 11 dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan bahwa KPK hanya dapat menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum dan menimbulkan kerugian negara minimal Rp1 miliar.
Dengan berubahnya status pimpinan BUMN, muncul celah hukum yang mengaburkan batas wewenang lembaga antikorupsi.
Tak heran, isu ini langsung mendapat reaksi keras dari warganet maupun pegiat antikorupsi.