HUKAMANEWS - Sebuah wacana baru dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, belakangan ini memicu perdebatan hangat di tengah masyarakat.
Dalam rapat koordinasi bertajuk “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” yang digelar di Pusdai Jawa Barat pada 28 April 2025, Dedi Mulyadi menyampaikan rencana menjadikan vasektomi sebagai salah satu syarat menerima bantuan sosial (bansos) bagi pria.
Alasannya cukup gamblang, ia menyoroti maraknya keluarga prasejahtera dengan jumlah anak yang banyak, namun kemampuan ekonomi terbatas.
Dengan menjadikan vasektomi sebagai syarat, ia berharap program Keluarga Berencana (KB) bisa lebih efektif sekaligus menekan angka kemiskinan.
Baca Juga: Pengamat Sebut Pidato Prabowo Membawa Nafas Baru bagi Gerakan Buruh
Namun, usulan ini justru memantik kritik tajam dari berbagai pihak, baik dari aspek hukum, HAM, maupun keagamaan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) termasuk yang paling vokal menentang rencana ini.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyebut kebijakan tersebut berisiko melanggar hak individu.
Menurutnya, tindakan medis seperti vasektomi tidak boleh dilakukan dalam situasi tekanan, termasuk tekanan ekonomi.
Jika seseorang merasa harus melakukan vasektomi demi mendapatkan bansos, maka ada pelanggaran hak privasi dan kebebasan dalam mengambil keputusan medis.
Bukan cuma dari sisi hak asasi, dari perspektif agama pun usulan ini dianggap sangat bermasalah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan penolakan tegas terhadap rencana tersebut.
MUI menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, vasektomi tergolong haram karena mengarah pada pemandulan yang sifatnya permanen.
Alih-alih memaksakan tindakan medis, MUI mendorong pemerintah untuk lebih mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perencanaan keluarga yang sehat dan bertanggung jawab.