Lakso menekankan pentingnya dukungan penuh dari seluruh otoritas, termasuk KPK, Polri, dan Kementerian Luar Negeri, untuk memastikan keberhasilan proses ini.
"Keberhasilan ekstradisi Paulus Tannos akan menjadi tolok ukur kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan instrumen hukum internasional untuk memberantas korupsi," tambahnya.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjelaskan bahwa penahanan sementara Paulus Tannos dilakukan melalui mekanisme police-to-police dengan melibatkan Divhubinter Mabes Polri.
Proses ini memerlukan koordinasi intensif antara atase kepolisian, jaksa, dan CPIB di Singapura.
Menurut Inspektur Jenderal Krishna Murti, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Indonesia telah mendeteksi keberadaan Paulus Tannos sejak akhir 2024.
Upaya diplomasi dilakukan dengan mengajukan permohonan penahanan sementara kepada otoritas Singapura. Hasilnya, CPIB menangkap Tannos pada awal tahun 2025.
Namun, penahanan Tannos di Penjara Changi bersifat sementara, dengan masa berlaku 45 hari sesuai perjanjian ekstradisi.
Dalam periode ini, pemerintah Indonesia harus memastikan proses hukum di Singapura berjalan lancar hingga putusan pengadilan final.
"Rapat koordinasi lintas kementerian telah digelar untuk memastikan setiap langkah hukum berjalan sesuai rencana," kata Krishna.
Saat ini, proses ekstradisi dipimpin oleh Kementerian Hukum dan HAM, dengan dukungan KPK, Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Luar Negeri.
Setelah Paulus Tannos berhasil dipulangkan, KPK diharapkan segera melakukan penelusuran mendalam untuk mengungkap seluruh pihak yang menerima manfaat dari korupsi e-KTP.
"Jangan sampai kasus ini berakhir hanya dengan penangkapan pelaku utama tanpa menyentuh akar permasalahan," tegas Lakso.
Baca Juga: Huawei Pocket 3, Ponsel Flip Generasi Baru yang Ditunggu, Cek Bocoran Keunggulannya