Artinya, setelah uang palsu berpindah tangan, pembeli tidak memiliki kesempatan untuk mengembalikannya atau melakukan komplain.
Nilai per transaksi sendiri ditaksir mencapai Rp300 juta, sebuah angka yang cukup menggiurkan bagi oknum yang nekat terlibat dalam praktik ilegal ini.
Mungkin yang lebih mengejutkan lagi, rumah produksi uang palsu ini tak jauh berbeda dari percetakan pada umumnya.
Baca Juga: Tips Jitu Biar Kucing Nggak Pilih-pilih Makanan Lagi, Dijamin Lahap dan Sehat, Cobain Sekarang!
Hal ini diungkapkan oleh Kombes Pol. Andi Sudarmaji yang menjelaskan bahwa peralatan dan suasana di dalam rumah produksi sangat mirip dengan percetakan legal.
Namun, perbedaannya jelas terletak pada hasil cetaknya. Uang palsu yang mereka produksi dibuat sedemikian rupa agar menyerupai uang asli, namun tentu saja tanpa nilai yang sah.
Dari segi fisik, uang palsu ini dibuat menggunakan kertas berkualitas tinggi dan dilengkapi dengan teknik pemotongan yang presisi, seolah-olah itu adalah uang asli.
Kasus ini tidak hanya membawa dampak besar dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi hukum. Para tersangka kini harus menghadapi jeratan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
SU, misalnya, dijerat dengan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) UU tersebut, yang mengatur mengenai pelanggaran pembuatan dan penyebaran uang palsu.
Selain SU, tersangka JR juga dijerat dengan pasal yang sama, sementara enam tersangka lainnya (AS, SUR, SUD, MFA, IL, dan EM) dikenakan Pasal 36 ayat (3) UU Mata Uang, yang diperberat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal-pasal tersebut memberikan ancaman hukuman yang sangat berat, mengingat tindakan mereka telah merugikan banyak pihak dan bisa memicu ketidakstabilan ekonomi.
Kasus ini menjadi pengingat bagi masyarakat untuk selalu waspada terhadap peredaran uang palsu.
Uang palsu tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga bisa menyebabkan ketidakpercayaan di tengah masyarakat terhadap sistem moneter negara.