Langkah ini menandakan tantangan besar bagi KPK, terutama ketika berhadapan dengan negara-negara yang memiliki pertimbangan geopolitik atau ekonomi dalam mengambil keputusan ekstradisi.
Menurut sejumlah pengamat hukum internasional, status permanent resident memang bukan hambatan absolut, namun tetap bisa menjadi batu sandungan bila tidak ada kemauan politik dari negara tempat buronan berada.
“Jika tidak ada tekanan diplomatik yang cukup kuat, G2G hanya akan jadi formalitas belaka,” ujar analis kebijakan luar negeri, Dimas Agung.
Beberapa netizen juga menanggapi berita ini dengan nada skeptis. “Sudah dari 2017 buron, baru sekarang digarap lagi? Kenapa nggak dari dulu?” tulis akun @watchjakarta di platform X.
Sementara itu, sebagian lainnya mendukung langkah KPK karena dinilai lebih realistis daripada terus berharap pada jalur ekstradisi yang rumit.
Upaya KPK memulangkan Kirana Kotama lewat pendekatan antar pemerintah menunjukkan betapa kompleksnya penegakan hukum lintas negara.
Dengan posisi Kirana yang telah memiliki status legal dan mungkin pengaruh lokal di Amerika Serikat, diplomasi tampaknya menjadi satu-satunya jalan yang masuk akal.
Namun publik tetap menagih hasil konkret, bukan sekadar pernyataan strategi. Sebab pada akhirnya, keadilan harus dijemput—meski melintasi samudra dan sistem hukum negara lain.***
Artikel Terkait
Hasto Sudah Bebas dengan Amnesti Presiden Prabowo Tapi KPK Belum Selesai, Kasus Harun Masiku Bisa Seret Namanya Lagi?
Nadiem Makarim Siap Penuhi Panggilan KPK, Dugaan Korupsi Google Cloud di Kemendikbudristek Makin Disorot
Paspor Harun Masiku Dicabut, Upaya KPK Persempit Ruang Gerak Buronan Korupsi
Menteri Imigrasi Pastikan Riza Chalid Masih di Malaysia, Pemerintah Siap Bantu Kejagung
Direktur Indofood Dipanggil KPK soal Bansos COVID-19, Benarkah Perusahaan Besar Ikut Main Proyek Negara?