Namun menariknya, Gedung Putih juga mengumumkan bahwa AS akan menangguhkan tarif resiprokal terhadap negara-negara lain selama 90 hari.
Pengecualian hanya diberikan kepada China, yang artinya Negeri Tirai Bambu tidak akan menikmati jeda waktu negosiasi tersebut.
Sementara itu, lebih dari 75 negara lainnya tengah berada dalam antrean untuk melakukan negosiasi dagang dengan AS selama masa penangguhan itu.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Trump berusaha memanfaatkan momentum sebagai bentuk tekanan diplomatik yang strategis.
Dari sisi lain, langkah ini bisa jadi berisiko tinggi secara global, apalagi mengingat posisi China sebagai mitra dagang utama berbagai negara.
Respons keras dari Beijing menunjukkan bahwa ketegangan ini belum akan mereda dalam waktu dekat.
Apalagi, dalam konteks pemilu mendatang, banyak analis menilai langkah Trump juga bermuatan politis untuk memperkuat citranya di dalam negeri.
Banyak pihak kini menunggu apakah langkah ini akan mengarah pada babak baru dalam perang dagang AS–China, atau justru membuka peluang dialog yang lebih terbuka.
Namun satu hal yang pasti, jika kedua negara tetap bersikeras pada kebijakan konfrontatif, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh mereka, tapi juga oleh rantai pasok global.
Kamu bisa lihat, dari industri manufaktur, otomotif, hingga teknologi, semua memiliki ketergantungan tinggi pada arus perdagangan bebas antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini.
Kalau tensi ini makin meningkat, harga barang konsumsi pun bisa ikut melonjak—dan itu bukan kabar baik buat konsumen di mana pun berada.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika publik global mulai bertanya: Apakah ada solusi jangka panjang yang realistis, atau kita akan terus menyaksikan permainan tarik-ulur tarif ini tanpa ujung?