Bahkan, ia mengingatkan bahwa sejarah pernah mencatat bagaimana konflik dagang bisa menjadi awal mula dari konflik bersenjata, seperti yang terjadi pada 1930-an, periode yang akhirnya melahirkan Perang Dunia Kedua.
Situasi ini bukan cuma persoalan Singapura saja.
Negara-negara di Asia Tenggara juga merasakan tekanan yang sama.
Banyak dari mereka yang menjadikan Amerika Serikat sebagai pasar utama bagi ekspor produknya.
Dengan diberlakukannya tarif tinggi, otomatis daya saing produk mereka menjadi tergerus, dan ini bisa berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi regional.
Ketidakpastian ekonomi pun meluas, dan masyarakat menjadi pihak yang paling terdampak.
Dampaknya tidak cuma soal angka pertumbuhan, tapi juga menyentuh sektor lapangan kerja, penghasilan rumah tangga, hingga kestabilan harga kebutuhan pokok.
Dalam menghadapi guncangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif.
Salah satu strategi yang paling masuk akal adalah memperkuat kerja sama regional dan memperluas pasar ekspor ke negara-negara yang tidak terlalu terpengaruh kebijakan proteksionis global.
Diversifikasi mitra dagang menjadi penting agar negara tidak terlalu menggantungkan nasibnya pada satu atau dua ekonomi besar saja.
Selain itu, negara juga perlu menyiapkan masyarakatnya untuk realitas baru yang mungkin tidak selalu nyaman.
Perlambatan ekonomi bisa menjadi tantangan besar, apalagi bila tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan keterampilan sumber daya manusia.
Pemerintah punya peran vital di sini.