Keputusan ini memperburuk persepsi bahwa pemerintah lebih melindungi kepentingan oligarki energi dibanding melindungi rakyat yang setiap hari berhadapan dengan banjir, longsor, cuaca ekstrem, dan kerusakan ekosistem.
Masuknya pelobi dalam forum resmi membuat isu-isu penting seperti transisi energi berkeadilan, mitigasi bencana, dan hak generasi mendatang tersingkir oleh agenda yang menguntungkan eksploitasi bumi.
Ketika ruang negosiasi global sudah didominasi kepentingan industri, publik mempertanyakan apakah komitmen iklim PBB masih mampu menjadi alat penyelamat planet atau justru alat legitimasi bagi bisnis fosil.
Baca Juga: UAD dan 1000 Cahaya Muhammadiyah Menyalakan Transisi Energi dari Kampus ke Kehidupan
Situasi ini memperlihatkan paradoks besar: Indonesia berbicara tentang ambisi iklim, tetapi langkah yang diambil justru melemahkan fondasi Perjanjian Paris itu sendiri.
Pertanyaan paling mendasar terus menggema: apakah pemerintah masih berdiri bersama rakyat dan masa depan bumi, atau justru bersama mereka yang terus menggerusnya?
Indonesia kini berada pada titik krusial untuk menentukan apakah kritik melalui Fossil of the Day Indonesia akan menjadi alarm peringatan atau sekadar catatan diabaikan.
Momentum COP30 seharusnya dimanfaatkan untuk mengembalikan arah kebijakan pada perlindungan bumi, bukan membesarkan ruang bagi sektor yang memperparah krisis iklim.
Publik menunggu langkah nyata pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan yang tegas dan transparan demi masa depan generasi berikutnya.***