climate-justice

Keteguhan Perempuan Pulau Pari Mempertahankan Tanah Leluhur dan Menjaga Ruang Hidup

Senin, 15 September 2025 | 20:25 WIB
Kelompok Perempuan Pulau Pari bukan hanya berdiri sebagai pagar betis menghadang penggusuran, tetapi juga menggerakkan ekonomi warga agar tetap bertahan di tanah leluhur.

 

HUKAMANEWS GreenFaith — Di balik laut biru dan pasir putih Pulau Pari, kisah getir warganya masih bergulir. Selama lebih dari satu dekade, mereka menghadapi klaim perusahaan atas hampir seluruh tanah pulau. Bagi warga, pulau kecil di Kepulauan Seribu ini bukan sekadar ruang geografis, melainkan ruang hidup yang diwariskan turun-temurun.

Dari konflik panjang itu, lahirlah gerakan perlawanan dengan wajah yang tidak biasa: perempuan sebagai penopang utama. Melalui Kelompok Perempuan Pulau Pari, mereka bukan hanya berdiri sebagai pagar betis menghadang penggusuran, tetapi juga menggerakkan ekonomi warga agar tetap bertahan di tanah leluhur.

Ketegangan memuncak ketika klaim lahan perusahaan berhadapan langsung dengan penolakan warga. Aparat turun tangan, bahkan beberapa tokoh masyarakat dikriminalisasi. Ati Sukamti, salah satu perempuan yang sejak awal aktif, masih ingat momen itu.

“Kami perempuan berdiri di pagar depan, menghadang aparat yang ingin mengukur lahan. Ada rasa takut, tapi kalau kami diam saja, pulau ini bisa hilang,” ujarnya.

Baca Juga: Hijau dari Lorong Patangpuluhan, Cara Unik Muhammadiyah Gerakkan Warga Menyelamatkan Bumi

Dari situ lahir Kelompok Perempuan Pulau Pari. Mereka memilih cara arif: menanami lahan kosong, membuka kebun, menjaga pantai, hingga menghidupkan dapur dengan kreativitas. Rumput laut diolah menjadi dodol, ikan asin jadi andalan, hingga pangan alternatif seperti blencong (keong sawah) dan umbi kecundang (suweg).

Kesadaran untuk mandiri mendorong mereka mendirikan koperasi. Iuran Rp15 ribu per bulan menjadi modal awal, perlahan berkembang menjadi usaha kolektif. Kini koperasi itu menjadi wadah simpan pinjam, memperkuat solidaritas, dan menopang perekonomian keluarga. Sekitar 50 perempuan terlibat aktif. Semua dilakukan sukarela, dengan satu tujuan: mempertahankan Pulau Pari tetap milik warga.

Menjaga Pulau, Menjaga Kehidupan

Gerakan perempuan Pulau Pari tidak berjalan sendiri. Dukungan datang dari organisasi masyarakat sipil, termasuk GreenFaith Indonesia. Bagi Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, perjuangan ini menyangkut keselamatan laut sekaligus keselamatan manusia.

“Kalau laut dikelola dengan baik, kita bisa hidup selamat dan bahagia. Nilai-nilai agama tidak pernah mengajarkan merusak laut demi segelintir orang, melainkan menjaganya agar memberi manfaat bagi semua,” ujarnya.

Baca Juga: Green Ranting Gunungpring, Mengelola Sampah dengan Iman, Mewujudkan Sekolah Berkelanjutan

Parid Ridwanuddin, Campaign Manager GreenFaith Indonesia, menambahkan, perempuan Pulau Pari memainkan tiga peran penting: menjaga kedaulatan pulau, mengelola lahan yang diklaim perusahaan, dan menggerakkan ekonomi lokal.

Kisah mereka adalah kisah keberanian melawan ketidakadilan sekaligus kebijaksanaan menjaga kehidupan. Bagi perempuan Pulau Pari, laut adalah rumah, identitas, dan masa depan anak-anak mereka. Selama mereka berdiri tegak, pulau kecil di Kepulauan Seribu itu tak akan mudah direbut siapa pun.***

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB