HUKAMANEWS GreenFaith - Krisis iklim bukan sekadar ancaman ekologis. Ia merambah dimensi moral dan spiritual manusia. Pertanyaan pun mengemuka: apakah agama menjadi musuh yang memperparah kerusakan, atau justru sahabat yang memberi harapan?
Pertanyaan itulah yang dibedah dalam diskusi daring bertajuk “Agama: Musuh atau Sahabat Lingkungan” yang digelar Perkumpulan Penulis Indonesia – Satupena melalui program HATIPENA, Kamis (4/9/2025).
Diskusi edisi ke-172 ini menghadirkan Hening Parlan, aktivis lintas iman yang kini menjabat Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana PP ’Aisyiyah.
Dalam pemaparannya, Hening menegaskan bahwa krisis iklim tak bisa dilihat semata-mata sebagai fenomena alam. Ia adalah refleksi dari krisis moral manusia.
“Sejak awal 1900-an hingga kini, suhu bumi meningkat dengan sangat cepat. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kerusakan di muka bumi terjadi akibat ulah manusia, tetapi bukan seluruh manusia, melainkan sebagian yang berperilaku merusak. Agama hadir untuk menuntun kita menjaga keseimbangan ciptaan Tuhan,” ujar Hening yang juga merupakan Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.
Wajah Ganda Agama
Menurut Hening, agama memiliki wajah ganda. Ia bisa menjadi musuh ketika ajaran disalahpahami atau dimanipulasi demi kepentingan politik dan ekonomi. Sebaliknya, agama dapat tampil sebagai sahabat ketika ditafsirkan secara kontekstual, progresif, serta berpihak pada keberlanjutan hidup.
“Kuncinya ada pada ekoteologi—sebuah tafsir dan teologi yang menempatkan alam sebagai bagian integral dari iman. Merusak bumi sama artinya dengan merusak ciptaan Tuhan,” kata Hening.
Dengan pendekatan ini, agama bukan hanya ritual, melainkan sumber inspirasi spiritual, moral, sekaligus sosial bagi gerakan lingkungan.
Ia mencontohkan sejumlah inisiatif berbasis iman: Laudato Si dalam Gereja Katolik, eco churches di kalangan Kristen, hingga Green al-Ma’un di Muhammadiyah. Di tingkat lokal, Muhammadiyah melalui Eco Bhinneka mendorong kolaborasi lintas iman.
“Urusan lingkungan tak bisa diselesaikan satu agama saja. Dalam program Sedekah Energi di Sukabumi, penyumbang pertama justru datang dari umat Buddha untuk sekolah Muhammadiyah. Saat kita saling mendukung, hasilnya jauh lebih baik,” jelasnya.
Empat Langkah Nyata
Agar agama benar-benar menjadi sahabat lingkungan, Hening menawarkan empat langkah strategis. Pertama, melakukan reinterpretasi teks agama agar pesan pro-lingkungan lebih kuat dalam khutbah, liturgi, maupun pendidikan. Kedua, memperkuat advokasi lingkungan melalui lembaga agama yang memiliki basis massa luas.
Ketiga, memperluas kolaborasi lintas iman, karena krisis iklim adalah masalah global yang menuntut solidaritas melampaui sekat identitas. Dan keempat, membangun eco-jihad—jihad ekologi yang bisa dilakukan bersama-sama demi menjaga bumi.
Menurut Hening, eco-jihad bukan sekadar jargon, melainkan panggilan iman untuk melawan keserakahan yang merusak bumi.