HUKAMANEWS GreenFaith - Pulau Pari, sebuah pulau kecil di Kepulauan Seribu, kini menjadi saksi bisu bagaimana krisis iklim bukan sekadar soal angka, hukum, atau ekonomi. Ia telah menjadi luka yang nyata: abrasi yang meruntuhkan pohon-pohon, banjir rob yang merusak rumah, hingga hilangnya mata pencaharian nelayan.
Warga setempat menggugat raksasa industri semen, Holcim, ke Pengadilan Swiss. Namun, di balik gugatan hukum itu, terdapat pertanyaan lebih mendasar: bagaimana nurani, iman, dan tanggung jawab spiritual manusia berperan dalam menjaga laut dan bumi?
Parid Ridwanuddin, Manajer Program GreenFaith Indonesia, menegaskan bahwa dalam Islam, perusakan lingkungan atas nama pembangunan atau pertumbuhan ekonomi tidak pernah dibenarkan.
“Di dalam Al-Qur’an, kata ‘fasad’ yang bermakna kerusakan disebut lebih dari 50 kali. Larangan itu sangat jelas, tak ada alasan untuk membenarkan perusakan dalam bentuk apapun,” ujarnya.
Laut (al-bahr) sendiri disebut jauh lebih banyak daripada daratan (al-barr) dalam Al-Qur’an. Fakta itu bukan sekadar simbol, tetapi penegasan bahwa laut adalah bagian penting dari keseimbangan ekosistem bumi, sumber pangan umat manusia, dan penyerap emisi karbon yang efektif. Dengan kata lain, merusak laut berarti merusak denyut kehidupan planet ini.
Dalam tradisi Katolik, pesan serupa juga menggema. Ensiklik Laudato Si (2015) dan Laudato Deum (2023) karya Paus Fransiskus berulang kali menyebut laut, samudera, dan pesisir sebagai ruang hidup yang harus dilindungi. Lebih dari 30 kali laut hadir dalam dua dokumen itu, selalu dalam konteks kerusakan akibat eksploitasi alam dan ancaman krisis iklim.
Dalam pidatonya di Istana Negara, Jakarta, 4 September 2024, Paus Fransiskus menegaskan, “Samudera adalah unsur alami yang menyatukan seluruh kepulauan Indonesia.”
Pernyataan itu mengingatkan bahwa laut bukan sekadar hamparan air, tetapi perekat kehidupan, sumber pangan, sekaligus benteng terakhir menghadapi krisis iklim.
Melalui ensikliknya, Paus mengajak dunia melihat laut sebagai “milik bersama umat manusia” yang harus dijaga dari kerakusan ekonomi dan eksploitasi tak terkendali.
Krisis iklim, kata Paus, adalah ancaman moral: mereka yang paling miskin, seperti nelayan Pulau Pari, justru menanggung beban paling berat.
Krisis Iklim sebagai Persoalan Nurani
Kehidupan warga Pulau Pari mencerminkan krisis yang lebih dalam. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), daratan Pulau Pari telah hilang 11 persen atau 4,6 hektar dari total 41,4 hektar. Nelayan kehilangan lebih dari 70 persen tangkapan ikan. Sumur air bersih kini terintrusi air laut, memaksa warga membeli air dari luar.
Ibu Asmania, warga Pulau Pari, menuturkan kisah pilunya. “Dulu kami bisa panen rumput laut dengan subur. Sekarang, baru seminggu ditanam sudah mati karena panasnya air laut.”
Kesaksian ini memperlihatkan bagaimana krisis iklim bukan lagi wacana global yang abstrak, melainkan kenyataan yang menghantam kehidupan sehari-hari.