climate-justice

Geliat Eco Spiritualitas dalam Menjawab Krisis Lingkungan

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:09 WIB
Dalam acara REACTday, Sabtu ( 23/8/2025) sejumlah pemikir dan praktisi memperlihatkan bahwa agama dan budaya dapat menjadi mesin penggerak kesadaran ekologis yang membumi sekaligus berkelanjutan.

 

HUKAMANEWS GreenFaith – Di tengah krisis iklim yang kian mencekam, jalan keluar kerap dibayangkan hadir dari teknologi mutakhir atau kebijakan global yang rumit. Namun, suara lain justru muncul dari lorong masjid, pesantren, hingga komunitas adat, yakni spiritualitas. Dalam acara festival lingkungan REACT Day 2025 yang digelar oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Sabtu 23 Agustus 2025, sejumlah pemikir dan praktisi memperlihatkan bahwa agama dan budaya dapat menjadi mesin penggerak kesadaran ekologis yang membumi sekaligus berkelanjutan.

Habib Jafar, tokoh agama dengan pendekatan segar, yang hadir sebagai salah satu pembicara menekankan pentingnya melihat alam bukan semata benda mati. Dalam konsep Ecosufisme, ia menjelaskan bahwa segala sesuatu di muka bumi, bahkan batu dan pohon, memiliki jiwa yang bertasbih kepada Tuhan.

“Nabi Muhammad memberi nama pada benda-benda miliknya. Itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan bentuk penghargaan. Benda pun memiliki ‘jiwa’,” katanya.

Dari sana lahir etika ekologis: memperlakukan alam dengan baik adalah ibadah. Pandangan ini diperkuat oleh konsep Ecoteologi, yang melihat lingkungan sebagai ayat-ayat Tuhan.

“Merusak lingkungan sama dengan merusak tanda-tanda keberadaan Ilahi,” lanjut Habib Jafar.

Bahkan, ia mengusulkan agar Ecojurisprudensi—perlindungan lingkungan—masuk dalam tujuan syariat Islam (maqasid syariah) sebagai tujuan keenam, setelah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Konsep itu menemukan wujud nyatanya di Pondok Pesantren Al-Ittifaq, kaki Gunung Patuha, Bandung. Silvie Fauziah, manajer agribisnis pesantren, berkisah bagaimana sejak era 1970-an mereka bertahan melawan arus penjualan tanah kepada pihak luar.

Bermula dari barter buncis dengan beras, kini produk pertanian mereka menembus supermarket. Ketika banjir melanda akibat penebangan hutan, pesantren ini memilih menanam kembali 100.000 pohon kayu putih dan jati. Aksi itu bukan hanya menyelamatkan lahan, tapi juga menggerakkan petani sekitar.

Pada 2005, mereka menerima penghargaan Kalpataru. Kini, Al-Ittifaq menjadi pusat pertanian organik sekaligus bukti nyata bahwa iman bisa berbuah pada aksi ekologi.

Budaya, Dogma, dan Jalan Perubahan

Namun, apakah pendekatan agama dan budaya cukup efektif? Habib Jafar mengingatkan bahwa kampanye lingkungan sering terasa elitis.

Menurutnya, gaya hidup hijau dengan sentuhan agama akan lebih kuat karena menyentuh dimensi keyakinan.

Ia mencontohkan kisah seorang sufi yang mengembalikan seekor serangga ke habitatnya—kesadaran ekologis yang lahir dari spiritualitas mendalam, bukan dari jargon semata.

Pendekatan budaya juga mendapat sorotan. Dellysape, pegiat budaya dan influencer, menekankan bahwa masyarakat adat telah lama hidup selaras dengan alam.

“Sejak lahir, mereka menyatu dengan lingkungan. Sayangnya, budaya sering dianggap kuno. Itu membuat anak muda enggan belajar dan mewarisinya,” ujarnya.

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB