climate-justice

GreenFaith Indonesia dan GPIB Mengikat Komitmen Iman untuk Bumi

Jumat, 29 Agustus 2025 | 21:52 WIB
Community Officer GreenFaith Indonesia Syahrul Ramadhan berjabat tangan dengan Pdt. Manuel E. Raintung, Ketua II Majelis Sinode GPIB Bidang Gereja, Masyarakat, Agama-Agama, dan Lingkungan Hidup (GERMASA-LH) pasca menandatangan MOU tentang program kerja sama di bidang lingkungan hidup.

 

HUKAMANEWS GreenFaith – Sebuah tonggak baru bagi gerakan iman dan ekologi di Indonesia lahir di Balikpapan. Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) bersama GreenFaith Indonesia resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tentang kerja sama lingkungan hidup.

Momentum ini berlangsung di tengah perhelatan Bulan Gereja, Masyarakat, Agama-agama, dan Lingkungan Hidup (Germasa) 2025, sebuah forum tahunan yang sejak lama menjadi ruang refleksi kritis dan aksi nyata gereja publik.

Dari pihak GPIB, penandatanganan dilakukan oleh Pdt. Manuel E. Raintung, Ketua II Majelis Sinode GPIB Bidang Gereja, Masyarakat, Agama-agama, dan Lingkungan Hidup. Sementara dari GreenFaith Indonesia, MoU ditandatangani oleh Hening Purwati, mewakili komunitas lintas iman yang konsisten mengusung isu transisi energi berkeadilan dan keadilan iklim.

MoU ini bukan sekadar seremoni. Di dalamnya termuat sejumlah kesepakatan strategis:

  1. Penelitian kolaboratif di bidang lingkungan hidup, termasuk riset bersama dan penerbitan hasil riset.

  2. Penguatan kapasitas jemaat GPIB agar lebih peduli pada ekologi dan berdaya dalam aksi nyata.

  3. Promosi Gerakan Gereja Ramah Lingkungan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kerja sama ini akan berlangsung empat tahun dan dapat diperpanjang. Seluruh pembiayaan program dituangkan secara transparan dalam rencana bersama.

Kritik Ekologis dari Pusaran IKN

Pemilihan lokasi Kalimantan Timur, daerah yang kini menjadi episentrum pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, sarat makna. Di balik gegap gempita proyek negara, Kalimantan menyimpan luka ekologis: deforestasi, marjinalisasi masyarakat adat, hingga ancaman krisis iklim yang kian nyata.

Lewat kesepakatan ini, GPIB menegaskan diri sebagai gereja publik—tak berdiam diri di balik tembok ibadah, tetapi hadir menjawab pergumulan masyarakat.

“Gereja tak bisa menutup mata. Kerusakan lingkungan adalah wujud krisis moral manusia. Melalui kerja sama ini, kami ingin memberi teladan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari pelayanan kasih,” ujar Pdt. Manuel Raintung.

Sementara itu, Hening Purwati menegaskan pentingnya kolaborasi lintas iman dan institusi keagamaan di tengah krisis iklim global.

“Krisis iklim adalah krisis spiritual. Ia menantang kita semua—umat beragama, pemerintah, dan masyarakat sipil—untuk keluar dari zona nyaman dan bekerja bersama. MoU ini adalah langkah kecil, tetapi penting, menuju perubahan besar,” katanya.

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB