HUKAMANEWS GreenFaith - Di antara tembok yang menjadi saksi sejarah toleransi Ibu Kota, anak-anak muda lintas iman bersama para penyandang disabilitas meneguhkan tekadnya. Terowongan Silaturahim, yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta, menjadi saksi pembacaan Deklarasi Orang Muda Lintas Iman untuk Keadilan Iklim dan Kesetaraan Gender.
Empat komitmen mereka gaungkan lantang: transformasi ekologis yang inklusif, kepemimpinan setara gender, solidaritas lintas iman, serta perlindungan bagi kelompok rentan di tengah krisis iklim.
Deklarasi itu tak lahir di ruang hampa. Mereka menempuh perjalanan penuh makna dalam Walk for Peace and Climate Justice, menapaki rute simbol toleransi dari Gereja Katedral, Terowongan Silaturahim, Masjid Istiqlal, hingga Pura Adhitya Jaya Rawamangun.
“Kita harus memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal dalam perjuangan menyelamatkan bumi, termasuk teman-teman difabel,” kata Fajri Hidayatullah, Ketua Umum HIDIMU.
Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, menggarisbawahi bahwa perdamaian dan keadilan sosial hanya lahir jika bumi tetap lestari untuk semua. “Deklarasi ini menjadi pijakan awal agar krisis iklim dijawab dengan solidaritas lintas iman,” ujarnya.
Romantisasi toleransi tidak cukup jika tanpa aksi nyata. Gereja Katedral memimpin dengan memanfaatkan 30 persen energi surya dan menyediakan akses bagi difabel. Masjid Istiqlal mempraktikkan wudlu daur ulang dan pemakaian material hijau sejak 2021, sementara Pura Adhitya Jaya menegaskan nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai fondasi persatuan menjaga bumi.
“Pancasila adalah napas kita bersama,” ujar Romo Macarius Maharsono Probho, SJ. “Nilai-nilai itu harus dijaga dalam tindakan, bukan sekadar dihafal.”
Dukungan pun datang dari Ford Foundation. Farah Sofa menilai inisiatif ini selaras dengan misi menciptakan keadilan sosial dan keadilan iklim. “Semoga gerakan ini menular ke lebih banyak komunitas,” katanya.
Sekitar 50 peserta hadir, merasakan denyut persaudaraan di sepanjang perjalanan. Ada semangat sederhana namun dalam: menapaki langkah kecil agar bumi tetap teduh, lestari, dan adil untuk generasi mendatang.
Aksi ini juga memperkuat jejaring rumah ibadah ramah lingkungan di Indonesia, sambil mengajak semua pihak memperkuat kepemimpinan ekologis yang inklusif dan berbasis nilai spiritual.
Menutup aksinya, para peserta menyuarakan harapan agar Terowongan Silaturahim tidak hanya menjadi penanda fisik kerukunan, tetapi juga ruang dialog lintas iman menghadapi tantangan global.
“Walk for Peace adalah titik mula. Inilah jubile — tahun pengharapan — yang harus diisi bersama aksi nyata,” pungkas Hening Parlan, memberi semangat di akhir kegiatan.
Di tengah krisis iklim yang kian mengancam, suara dari lorong-lorong silaturahim di Jakarta ini mengingatkan kita bahwa perjuangan merawat bumi hanya bisa berhasil bila dilakukan bersama, melintasi batas agama, budaya, dan kemampuan fisik.***