climate-justice

Bencana Iklim Mengintai Komodo, Indonesia di Ambang Krisis Ekologis

Sabtu, 31 Mei 2025 | 06:00 WIB
Komodo terancam punah, salah satunya akibat krisis iklim

HUKAMANEWS GreenFaith — Di tengah pusaran krisis iklim global yang kian memburuk, Indonesia tidak hanya menghadapi bencana ekologis, tetapi juga ancaman nyata terhadap identitas keanekaragaman hayatinya. Salah satu korbannya adalah komodo, sang naga purba dari Nusa Tenggara Timur, yang kini berada di ambang kepunahan akibat naiknya suhu bumi.

Dalam diskusi daring bertajuk “Keanekaragaman Hayati dalam Aksi Pengendalian Perubahan Iklim” yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu (28/5/2025), Guru Besar Biologi Universitas Indonesia, Prof. Jatna Supriatna, menyampaikan peringatan keras. Kenaikan suhu global yang telah melampaui 1,5 derajat Celsius sejak era pra-industri memicu disrupsi besar pada ekosistem Indonesia. Jika tren ini terus berlanjut tanpa mitigasi serius, konsekuensinya tidak sekadar ekologis—melainkan eksistensial.

“Komodo bukan hanya terancam. Ia terperangkap dalam jaring-jaring ancaman yang semakin kompleks—kanibalisme, kerusakan habitat, hingga pemanasan global,” ujar Jatna dengan nada prihatin. Kenaikan suhu, tambahnya, menurunkan pertumbuhan vegetasi yang selama ini menjadi tempat perlindungan vital bagi anak komodo. Tanpa pohon tinggi, anak komodo tak punya tempat berlindung dari induknya sendiri yang bersifat kanibal.

Diketahui, perubahan iklim tidak lagi sekadar wacana. Ia menjelma menjadi pemantik utama kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Permukaan air laut yang naik menggerus pulau-pulau kecil, curah hujan menjadi tak menentu, dan kawasan hutan terus menyusut akibat deforestasi dan alih fungsi lahan—sebagian besar demi kepentingan industri. Akibatnya, spesies endemik seperti komodo kehilangan tempat hidupnya.

Situasi semakin mengkhawatirkan di lautan. Terumbu karang memutih akibat peningkatan suhu laut. Meskipun kawasan seperti Raja Ampat menunjukkan ketahanan ekologis karena fluktuasi suhu harian, spesies seperti paus dan hiu paus kini berjuang beradaptasi terhadap perubahan kadar oksigen dan klorofil di laut.

“Kita menghadapi triple crisis: perubahan iklim, polusi, dan hilangnya biodiversitas. Ketiganya saling memperkuat, saling menghancurkan,” tegas Jatna.

Harta Karun yang Terabaikan

Ironisnya, Indonesia yang dikenal sebagai negara megabiodiversitas justru belum memaksimalkan kekayaan hayati yang dimiliki. Menempati peringkat kedua dunia setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati, negeri ini menyimpan 10 persen spesies tanaman dunia, 25 persen spesies ikan laut, dan 17 persen spesies burung global. Namun semua itu masih terpendam sebagai potensi yang belum digarap serius.

“Kita masih impor pisang, padahal Indonesia adalah pusat keragaman pisang dunia. Di Papua, ada pisang setinggi 10 meter dengan berat 3 kilogram. Tapi alih teknologi pisang di Indonesia hanya dikerjakan lima orang,” ungkap Jatna.

Hal serupa terjadi di sektor perikanan. Indonesia adalah produsen ikan terbesar ketiga di dunia, namun nilai tambah ekonominya tertinggal jauh. Di sektor pertanian dan pangan, dari ribuan jenis tanaman buah, sayur, rempah, dan obat-obatan, hanya segelintir yang benar-benar dikembangkan untuk industri.

Bahkan spesies lokal seperti katak Blyth di Sumatra—yang bisa dijadikan sumber pangan alternatif—masih luput dari perhatian. Sementara itu, restoran-restoran di tanah air justru menghidangkan swike dari katak impor.

Pandemi dari Hutan yang Rusak

Tak hanya ekosistem yang runtuh, kesehatan manusia pun berada dalam bahaya. Fenomena dilution effect atau berkurangnya keanekaragaman mendorong hewan pembawa virus, seperti kelelawar, makin dekat ke permukiman manusia. Ini memperbesar risiko munculnya zoonosis—penyakit yang menular dari hewan ke manusia—seperti COVID-19.

“Semakin rusak habitat, semakin dekat hewan-hewan ini dengan manusia. Itu bom waktu untuk pandemi berikutnya,” kata Jatna memperingatkan.

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB