HUKAMANEWS GreenFaith - Di tengah krisis iklim global yang kian mendesak, Indonesia menyimpan harapan besar dalam bentuk keanekaragaman hayati. Tidak tanggung-tanggung, negeri ini memiliki 22 jenis ekosistem yang dipercaya bisa menjadi benteng penting dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Hal ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, dalam peringatan Hari Keanekaragaman Hayati yang digelar di Jakarta, Rabu (22/5/2025). Dalam pidatonya, Hanif menegaskan bahwa keanekaragaman hayati bukan sekadar warisan alam, tetapi aset strategis nasional—bahkan dunia.
“Indonesia adalah rumah bagi 22 jenis ekosistem, dari hutan tropis, mangrove, danau, sungai, karst, hingga terumbu karang. Setiap elemen di dalamnya menyimpan kekuatan untuk menjaga keseimbangan bumi,” ujar Hanif.
Menurut Hanif, keanekaragaman spesies dan genetik yang tersimpan dalam ekosistem tersebut bukan hanya menjadi sumber pangan dan obat-obatan, tetapi juga berperan penting dalam penyimpanan karbon, pengaturan air, dan menjaga stabilitas iklim global. “Di tengah perubahan iklim, ini adalah kekuatan yang tak ternilai,” tegasnya.
Tidak hanya itu, ketahanan pangan nasional disebut sangat bergantung pada kelestarian keanekaragaman hayati. Dengan sistem pangan yang kian rentan akibat krisis iklim dan degradasi lingkungan, perlindungan terhadap ekosistem menjadi prioritas yang tak bisa ditunda.
“Kita harus menjadikan momen ini sebagai titik balik, bukan hanya seremonial. Saatnya memastikan penataan ruang yang berbasis ekosistem serta memperkuat zonasi kawasan lindung,” kata Hanif.
Ia menegaskan pentingnya instrumen hukum yang jelas untuk menjamin perlindungan kawasan penting, termasuk zona lindung, penyangga, dan koridor ekologi. Dalam pandangannya, kebijakan yang lemah hanya akan mempercepat kerusakan, bukan menghambatnya.
Pada level akar rumput, Hanif juga menyoroti pentingnya peran masyarakat dan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam. Ia mencontohkan budaya sasi di Maluku sebagai sistem tradisional yang terbukti mampu menjaga hasil hutan dan laut secara berkelanjutan.
“Model seperti ini harus kita perkuat melalui regulasi. Kearifan lokal terbukti bisa menjadi solusi,” katanya.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Di balik kekayaan hayati Indonesia yang luar biasa, riset dan inovasi di bidang ini dinilai belum maksimal. “Kita baru menyentuh permukaannya. Masih banyak potensi yang belum tergali,” ujar Hanif.
Ia juga mendorong kalangan dunia usaha untuk mengambil peran lebih aktif dalam menjaga lingkungan dan mendukung masyarakat yang hidup dari ekosistem sekitar. “Pembangunan harus berbasis kelestarian. Keuntungan ekonomi tidak boleh dibayar mahal dengan kerusakan alam,” ucapnya.
Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati ini dihadiri oleh berbagai elemen, mulai dari kementerian, akademisi, pelajar, hingga aktivis lingkungan. Mereka menyuarakan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menjaga kekayaan hayati Indonesia, yang mencakup dua zona biogeografis utama: Indomalaya dan Australasia.
Meski hanya mencakup 1,3 persen luas daratan dunia, Indonesia menyimpan 10 persen spesies tumbuhan berbunga, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen burung, serta lebih dari 25 persen spesies ikan dunia. Kehilangan satu spesies saja bisa mengganggu jaringan kehidupan secara luas.
“Ini bukan hanya soal Indonesia, tetapi soal masa depan planet ini. Kita punya 22 ekosistem yang bisa jadi penyelamat dunia—asal kita jaga bersama,” pungkas Hanif.***
Artikel Terkait
Desa Krandegan Purworejo Buktikan Panel Surya Bisa Gantikan BBM Solar untuk Pengairan Sawah, Petani Untung Besar dan Lingkungan Lestari
‘Crazy Ustadz’ dan Mimpi Besar Ananto Isworo Mewujudkan Masjid Hijau Brajan
Suhu Global Capai Rekor Tinggi, Keadilan Iklim Jadi Tuntutan Mendesak
Bangun Harmoni Lintas Iman, GPIB dan Eco Bhinneka Muhammadiyah Perkuat Kolaborasi Lingkungan