HUKAMANEWS GreenFaith — Krisis iklim bukan sekadar tantangan lingkungan, melainkan juga persoalan komunikasi. Tanpa narasi yang menggugah dan bahasa yang menjangkau masyarakat luas, isu iklim mudah tenggelam dalam kerumitan istilah teknis dan jarak emosional yang membentang.
Inilah benang merah yang mengemuka dalam Kuliah Pakar bertema “Komunikasi Lingkungan dalam Perspektif Pemerintah, Korporasi, dan Gerakan Civil Society” yang digelar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Senin (26/5), di Auditorium Kampus Sindangsari.
Kegiatan yang menghadirkan Wakil Wali Kota Serang, Nur Agis Aulia, dan Koordinator GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, ini menjadi ruang dialog yang kritis dan penuh harapan. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Untirta, Dr. Isti Nursih, menyebut acara ini sebagai ikhtiar strategis agar mahasiswa lebih sadar, kritis, dan aktif terhadap isu lingkungan.
“Ini bukan sekadar kuliah, tapi momen untuk menyalakan kesadaran kolektif,” ujarnya dalam sambutan pembuka.
Dekan FISIP Untirta, Dr. Leo Agustino, menegaskan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam menghadapi krisis iklim. “Kita tidak bisa lagi memandang lingkungan hanya dari sisi ekologi. Komunikasi memegang peran vital untuk membangun kesadaran dan partisipasi,” katanya.
Dalam sesi pemaparannya, Wakil Wali Kota Serang menegaskan bahwa komunikasi lingkungan harus menjadi jembatan antara kebijakan dan aksi masyarakat. Ia mencontohkan strategi Pemkot Serang yang mendorong setiap dinas memiliki program non-APBD untuk inovasi lingkungan.
“Pemerintah bukan hanya regulator, tetapi juga fasilitator dan katalisator inovasi. Kalau ingin kota hijau dan madani, komunikasi harus melibatkan semua pihak,” tegas Agis.
Ia juga menyebut media sosial sebagai kanal penting untuk menyampaikan pesan lingkungan yang sederhana namun kuat.
“Kita tidak bisa lagi berkomunikasi satu arah. Masyarakat harus merasa bahwa mereka bagian dari solusi,” ujarnya.
Dari Kesadaran Menuju Keterlibatan
Koordinator GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, menyoroti aspek moral dan psikologis dalam menyampaikan pesan lingkungan. Berdasarkan riset yang ia paparkan, banyak warga Indonesia pernah mendengar tentang perubahan iklim, namun hanya sebagian kecil yang memahaminya secara benar. Bahkan ketika mereka paham, tak sedikit yang justru merasa tak berdaya.
“Bahasa teknis seperti 'emisi gas rumah kaca' atau 'dekarbonisasi' membuat orang menjauh. Padahal, ketika kita menyebut 'selimut polusi', orang bisa membayangkan dan merasa dekat,” ujarnya.
Namun, Hening mengingatkan bahwa pemahaman belum tentu diikuti tindakan. “Masyarakat akan bergerak jika pesan menyentuh nilai moral mereka dan memberi ruang partisipasi sesuai kapasitas—dari menjadi relawan, berdonasi, hingga membagikan pesan di media sosial,” ujarnya.