HUKAMANEWS GreenFaith – Istilah transisi energi kian sering terdengar—mengisi tajuk media, forum akademik, hingga obrolan warung kopi. Terdengar bak istilah rumit di ruang kuliah teknik, namun sejatinya ia berkelindan dengan kegiatan harian—mulai dari menyalakan lampu, menekan sakelar kompor listrik, hingga menuntun si kecil bernafas lega di kota yang kian padat.
Ibarat mendayung perahu, kita kini diminta mengubah haluan: meninggalkan arus deras bahan bakar fosil dan berlayar menuju teluk energi terbarukan—lebih jernih, lebih lestari.
Agar tak terjebak jargon, mari menelisik tiga pokok penting transisi energi Indonesia dalam uraian lebih rinci.
- Planet Kita Tak Lagi Hangat, Melainkan Gerah
Bayangkan bumi sebagai rumah kaca raksasa. Sedikit panas tertahan, tanaman tumbuh subur—seimbang. Tapi sejak Revolusi Industri, udara rumah kaca ini kian sesak oleh asap pabrik, knalpot, dan cerobong pembangkit. Panas matahari yang mestinya memantul pergi, terkurung layaknya uap di kukusan. Akibatnya, suhu merangkak naik, es kutub menipis, hujan menggila di satu tempat, kekeringan mencekik di tempat lain.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebut sektor energi penyumbang emisi terbesar. Jika kita tak meredamnya, “hangat” akan beralih jadi “gerah,” dan gerah bisa menjelma krisis pangan, krisis air, hingga migrasi massal. Transisi energi bukan pilihan elitis; ia tameng bagi hajat hidup orang banyak.
- Mengganti Mesin Saja Tak Cukup
Indonesia sudah menjajal biodiesel sawit, bioetanol jagung, hingga kendaraan listrik. Namun, masing‑masing menyimpang rintang. Perluasan kebun sawit mendorong deforestasi, bioetanol bersaing dengan kebutuhan pangan, sementara mobil listrik tetap “meminum” listrik yang 55 persennya disuplai PLTU batu bara.
Artinya, transisi sejati tidak berhenti di ujung knalpot, tetapi musti menyelami hulu: bagaimana listrik dihasilkan, bagaimana lahan dikelola, bahkan bagaimana kebijakan fiskal memberi insentif bagi energi hijau. Ia seperti merombak dapur: bukan hanya mengganti kompor, tapi juga memperbaiki ventilasi, menata ulang perabot, dan memilih bahan baku sehat.
- Listrik, Urat Nadi Perubahan
Hampir segala gawai kita—piring nasi hangat dari penanak otomatis, rapat daring, hingga pendingin ruangan—bergantung pada listrik. Maka, membersihkan dapur listrik sama dengan menyehatkan seluruh rumah.
Skema co‑firing—mencampur batu bara dengan biomassa—bisa mereduksi emisi, tetapi efeknya tipis dan rawan berebut lahan dengan tanaman pangan. Pilihan lain: membesarkan porsi tenaga air, angin, dan surya. Turbin angin tak berbunyi bila angin malas berembus; panel surya pun istirahat saat awan menggumpal. Solusinya: baterai skala besar, jaringan pintar, dan diversifikasi—ibarat menanam padi, jagung, dan sayur sekaligus agar dapur tak kelaparan bila satu gagal panen.
Tantangan belum usai. Modul surya masih banyak diimpor, industri baterai nikel kita dipantau ketat soal limbah. Namun, biaya teknologi turun cepat. Panel surya kini lebih murah dari dekade lalu; baterai menyusut harganya. Pasar global mendorong bank dan investor mengalirkan dana ke proyek hijau.
Optimisme yang Terukur
Peta jalan pemerintah menargetkan 23 persen bauran terbarukan pada 2025. Waktunya mepet, tetapi peluang terbuka jika semua pihak—pemerintah daerah, PLN, pengusaha, komunitas riset, hingga warga—bergerak serempak. Program atap surya untuk rumah tangga, kredit murah bagi pembangkit mini hidro, dan aturan tegas menghijaukan rantai pasok industri dapat menjadi gir‑gir penggerak.
Transisi energi bukan lomba lari jarak pendek, melainkan maraton lintas generasi. Butuh stamina kebijakan, komitmen korporasi, dan partisipasi publik. Namun, manfaatnya jelas: udara lebih bersih, ketergantungan impor bahan bakar menyusut, lapangan kerja hijau tumbuh, dan—yang terpenting—masa depan bumi terjaga.
Mengubah haluan tentu menuntut keberanian. Tapi sebagaimana pepatah pelaut, kapal tak dibangun untuk bersandar di dermaga. Saatnya kita bentangkan layar energi bersih, agar anak cucu kelak mengenang: “Mereka berani menepi dari asap, dan kami kini menikmati langit biru.”***