HUKAMANEWS GreenFaith - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam terbesar di dunia. Namun, di balik keindahan hutan tropisnya, ancaman deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam terus membayangi. Keberadaan masyarakat adat yang telah lama menjadi penjaga hutan juga semakin terpinggirkan akibat kebijakan yang tidak berpihak. Di tengah situasi yang semakin genting ini, kolaborasi lintas agama muncul sebagai strategi yang menjanjikan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Kesadaran akan peran agama dalam perlindungan lingkungan mendorong diselenggarakannya Forum Group Discussion (FGD) pada 18 Maret 2025. Acara ini diinisiasi oleh Eco Bhinneka Muhammadiyah, Green Faith Indonesia, dan Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia, serta didukung oleh Bappenas dan Pemerintah Inggris melalui Oxford Policy Management Limited (OPML). Forum ini menjadi ajang bagi pemuka agama, akademisi, dan aktivis lingkungan untuk merumuskan strategi konkret dalam menggalang kerja sama lintas agama guna melindungi hutan tropis dan masyarakat adat.
Dr. Hayu S. Prabowo dari Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia menekankan bahwa hutan bukan sekadar paru-paru dunia, tetapi juga rumah bagi jutaan spesies dan komunitas adat. Namun, realitasnya, eksploitasi hutan terus berlangsung dengan dalih pembangunan.
“Kolaborasi lintas agama memiliki pengaruh moral yang besar dalam menekan kebijakan yang merugikan lingkungan,” ujar Hayu.
Ia menekankan bahwa agama memiliki kekuatan untuk mengubah perspektif masyarakat terhadap lingkungan, menjadikannya sebagai amanah yang harus dijaga bersama.
Organisasi keagamaan (Faith-Based Organizations/FBO) memiliki aset strategis seperti tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan jaringan komunitas yang luas. Dengan memanfaatkan sumber daya ini, kampanye pelestarian lingkungan dapat dilakukan secara efektif dan diterima oleh masyarakat luas.
“Kita harus menggerakkan perubahan dari akar rumput, mengajak umat untuk memahami bahwa menjaga hutan adalah bagian dari ibadah,” tegasnya.
Sementara itu, Abdon Nababan dari Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) menyoroti pentingnya RUU Masyarakat Adat untuk memberikan perlindungan hukum bagi komunitas yang telah berabad-abad menjaga hutan.
“Mereka memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi justru sering menjadi korban kriminalisasi,” ujarnya. Ia juga menyoroti bahwa lebih dari 100 kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat masih belum terselesaikan.
Data menunjukkan bahwa hutan primer di wilayah adat yang masih terjaga mencapai 14 juta hektar, sementara hutan sekunder yang dikelola masyarakat adat mencapai 7,2 juta hektar.
“Ini bukti nyata bahwa masyarakat adat mampu menjaga hutan lebih baik dibandingkan korporasi,” tambah Abdon.