climate-justice

Harmoni untuk Bumi, Ketika Iman Menjadi Kekuatan dalam Perjuangan Melawan Krisis Iklim di Maluku

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:47 WIB
Ilustrasi. Banjir bandang menerjang Ternate, Maluku Utara pada Agustus 2024. Dampak krisis iklim telah dirasakan masyarakat Maluku, mulai dari cuaca ekstrim, gagal panen, hingga makin sedikitnya hasil tangkapan ikan nelayan.

HUKAMANEWS GreenFaith - Bayangan krisis iklim yang semakin nyata telah menyadarkan masyarakat Maluku akan perlunya aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan.  Lebih dari 70 juta orang telah mengungsi akibat bencana alam yang semakin sering terjadi sejak tahun 2000.  Di tengah ancaman kepunahan massal keanekaragaman hayati, peran agama pun menjadi sorotan utama dalam upaya membangun masa depan rendah karbon.

Di Ambon, sebuah pertemuan lintas iman yang unik baru saja digelar.  Dalam forum Focus Group Disscusion (FGD) bertajuk Kerja-Kerja Advokasi dalam Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk Mengelola Risiko Lingkungan, sejumlah tokoh agama, akademisi, dan aktivis lingkungan berkumpul untuk membahas peran vital agama dalam menghadapi dampak buruk krisis iklim di Maluku. Acara ini digelar pada Kamis, 27 Februari 2025.

Maluku, sebuah provinsi kepulauan dengan potensi alam yang melimpah, namun rapuh.  Potensi pertambangan, kehutanan, pertanian, perikanan, dan pariwisata terancam oleh perubahan iklim yang mengancam kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Baca Juga: Zakat Bisa Menjadi Pengurang Pajak, Kementerian Agama Tengah Pelajari Konsepnya

Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, menyatakan bahwa pembangunan rendah karbon bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau universitas.  "Ini adalah misi bersama," ujarnya, menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk kelompok lintas agama. 

Pertemuan internasional COP28 di Dubai, yang untuk pertama kalinya menghadirkan pavilion faith-based, menjadi bukti nyata peran agama dalam menyuarakan keadilan iklim. 

"Peran agama bukan hanya untuk mengurangi dampak krisis iklim, tetapi juga untuk menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar," tambah Hening yang juga merupakan Direktur GreenFaith Indonesia ini.

Kisah nyata dampak krisis iklim pun dibagikan. Nelayan yang kesulitan mencari ikan karena suhu laut yang meningkat, dan petani yang gagal panen akibat banjir, menjadi gambaran nyata penderitaan yang dialami masyarakat.  Oleh karena itu, Hening menekankan pentingnya peningkatan kapasitas kelompok lintas agama melalui pelatihan dan informasi yang tepat mengenai perubahan iklim, agar mereka dapat menjadi garda terdepan dalam mitigasi dan adaptasi.

Dr. Thaib Hunsow, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku, menambahkan bahwa tokoh agama memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan isu lingkungan kepada masyarakat. 

Baca Juga: Agama dan Kebahagiaan

"Di masjid, rumah ibadah, dan majelis, mari kita sampaikan bahaya sampah dan kerusakan alam," ajaknya, menyerukan aksi nyata dari komunitas keagamaan.

Setali tiga uang, Dr. Abdul Manaf Tubaka, Akademisi Sosiologi Agama dari IAIN Ambon, menekankan pentingnya literasi keagamaan yang mendalam tentang lingkungan.  Ia menyoroti kesenjangan literasi keagamaan terkait isu perubahan iklim, meskipun pemerintah telah menyediakan ruang partisipasi masyarakat.  "Semoga pertemuan ini menjadi titik awal kolaborasi yang lebih baik," harapnya.

Peserta FGD 'Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan

Pendeta John Victor Kainama, Kepala Biro Lingkungan Hidup dan Kebencanaan Gereja Protestan Maluku (GPM), menyatakan komitmen gereja untuk berkolaborasi dengan pemerintah dan seluruh agama dalam pelestarian lingkungan. 

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB