HUKAMANEWS Greefaith - Mahkamah Internasional (ICJ) baru saja menyelesaikan sidang dengar pendapat tentang tanggung jawab negara-negara terhadap perubahan iklim.
Sidang ini memicu diskusi tajam mengenai kewajiban negara maju, yang dianggap berkontribusi besar pada pemanasan global, terhadap negara-negara kecil yang terancam tenggelam.
Sidang ini menjadi langkah penting dalam sejarah hukum lingkungan internasional, dengan ICJ diharapkan memberikan pendapat resmi pada tahun 2025.
Pendapat ini tidak mengikat secara hukum, namun memiliki bobot politik dan dapat menjadi preseden bagi gugatan hukum terkait perubahan iklim di seluruh dunia.
Negara-negara berkembang, terutama negara kepulauan kecil, menyerukan pemangkasan emisi gas rumah kaca yang signifikan.
Mereka juga meminta pendanaan iklim dari negara maju untuk membantu mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang kian parah.
Eselealofa Apinelu, perwakilan dari Tuvalu, menyampaikan peringatan keras bahwa negaranya bisa tenggelam seluruhnya jika emisi global tidak dikendalikan.
“Pada lintasan emisi saat ini, Tuvalu akan hilang sepenuhnya di bawah ombak,” ungkapnya di hadapan para hakim ICJ.
Hampir 100 negara dan organisasi turut hadir dalam sidang ini.
Sidang yang dipelopori oleh negara-negara kepulauan kecil ini bertujuan meminta panduan hukum dari ICJ untuk menyelesaikan persoalan tanggung jawab iklim secara global.
Namun, negara maju seperti Amerika Serikat, Cina, dan Arab Saudi menegaskan bahwa kesepakatan seperti Perjanjian Paris tidak bersifat mengikat.
Mereka berpendapat bahwa kewajiban untuk mengurangi emisi harus ditentukan oleh masing-masing negara, bukan melalui penegakan hukum internasional.