HUKAMANEWS GreenFaith - Di tengah perdebatan global tentang perubahan iklim, pertemuan tahunan Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan, menjadi ajang diskusi penting untuk mencari solusi kolektif. Di sana, suara komunitas keagamaan, khususnya Islam, mendapat sorotan khusus.
Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia dan Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah, berbagi pandangan tentang bagaimana organisasi berbasis agama dapat menjadi motor penggerak dalam menghadapi krisis iklim.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki kekuatan unik untuk memimpin aksi iklim berbasis nilai keagamaan. Hening menekankan, komunitas Islam, dengan akar sosial yang mendalam, memainkan peran strategis dalam meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan di tengah masyarakat.
"Melibatkan pemimpin dan komunitas agama berarti menciptakan masa depan berkelanjutan yang berdasarkan tanggung jawab etis dan kepedulian terhadap ciptaan," katanya.
Ajaran Islam untuk Keberlanjutan Lingkungan
Islam memiliki nilai-nilai yang mendukung tanggung jawab lingkungan. Konsep pengelolaan (stewardship) dan keselarasan dengan alam menjadi dasar pendekatan terhadap keberlanjutan. Untuk memperkuat pesan ini, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah melahirkan ijtihad berupa fatwa keagamaan, seperti Fatwa tentang Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi serta Fiqih Transisi Energi yang Adil.
Fatwa pertama menyoroti dampak buruk industri ekstraktif terhadap lingkungan. Dengan tegas, fatwa ini menyerukan transisi ke energi terbarukan dan investasi pada solusi yang tidak merusak keseimbangan ekologi.
Sementara itu, fiqih transisi energi memberikan kerangka etis yang berfokus pada keadilan sosial, memastikan masyarakat rentan tidak menjadi korban dalam proses transisi energi.
"Dengan landasan ajaran Islam, kita dapat menyelaraskan kewajiban moral dengan pembangunan berkelanjutan," ujar Hening.
Salah satu inisiatif unggulan Muhammadiyah adalah Hutan Wakaf, sebuah program yang menggabungkan konsep wakaf dengan konservasi lingkungan. Melalui penghijauan dan pengelolaan lahan tidak produktif, hutan wakaf berkontribusi pada stabilitas iklim mikro, konservasi keanekaragaman hayati, serta mitigasi bencana alam.
"Hutan wakaf adalah contoh bagaimana tradisi keagamaan dapat diadaptasi untuk mendukung pelestarian lingkungan," jelas Hening. Selain itu, program ini juga menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Hening menekankan, peran agama tidak hanya berhenti pada aksi nyata, tetapi juga menyentuh sisi narasi. Menurutnya, strategi komunikasi yang efektif adalah kunci untuk menjangkau lebih banyak orang. GreenFaith dan Muhammadiyah, misalnya, menggunakan pendekatan berbasis harapan alih-alih bahasa apokaliptik.