“Menjaga pesan tetap optimistis membantu masyarakat tetap termotivasi meskipun menghadapi tantangan besar,” ungkapnya. Narasi ini dikuatkan dengan melibatkan budaya lokal melalui penceritaan, ritual, dan pertemuan masyarakat, sehingga pesan-pesan lingkungan menjadi lebih relevan dan mudah diterima.
Hening menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas agama untuk mengatasi dampak serius perubahan iklim. “Tugas kita adalah menjaga kepentingan publik tetap terfokus pada aksi iklim, meskipun tekanan ekonomi sering kali menjadi saingan,” katanya.
Dengan mendasarkan pesan pada nilai-nilai agama dan moral, organisasi seperti Muhammadiyah dan GreenFaith mampu menciptakan keterlibatan yang mendalam.
Hening percaya, setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak besar dalam perjuangan panjang melawan perubahan iklim.
Pertemuan COP29 menjadi bukti bahwa suara umat, terutama yang berakar pada keyakinan, dapat memainkan peran transformatif. Ketika agama, budaya, dan keberlanjutan menyatu, solusi terhadap krisis iklim tidak lagi terasa mustahil.
"Kolaborasi adalah kunci, dan keyakinan adalah pondasi untuk menjaga aksi tetap berkelanjutan," pungkas Hening.***
Artikel Terkait
GreenFaith Indonesia and the Push for a Just Energy Transition in West Java: Climate Justice as a Collective Responsibility
Aksi Muda Jaga Iklim Hadir dengan Parade Monster Plastik di 5 Kota, Siap Menyuarakan Perubahan!
COP29 Akan Mengubah Nasib Bumi, Inilah 4 Fokus Utama Paling Mendesak dalam Menghadapi Krisis Iklim
Jadwal COP29 Baku, Harapan dan Aksi Nyata untuk Krisis Iklim Dunia
World Cities Day 2024, 6 Inovasi Kota Dunia untuk Hidup Lebih Nyaman dan Ramah Lingkungan
Cuaca Ekstrem Guncang Dunia! Peringatan Keras dari Bumi untuk Kita Semua, Alarm Krisis Iklim Makin Nyata