HUKAMANEWS GeenFaith — Sabtu pagi, 5 Juli 2025, di jantung Ibu Kota tampak berbeda. Sekitar 50 anak muda lintas iman dan penyandang disabilitas menapaki langkah demi langkah menembus teriknya Jakarta dalam aksi bertajuk Walk for Peace and Climate Justice. Mereka bergerak dari Gereja Katedral Jakarta, menelusuri Terowongan Silaturahim, menuju Masjid Istiqlal, lalu berakhir di Pura Adhitya Jaya Rawamangun.
Aksi damai ini bukan sekadar unjuk solidaritas, tetapi juga penegasan bahwa keadilan iklim adalah hak semua umat manusia, tanpa terkecuali, termasuk saudara-saudara difabel. Suara mereka menyatu, mengusung pesan keberanian menghadapi ancaman krisis iklim yang kian nyata.
“Perdamaian hanya terwujud jika keadilan lingkungan dan sosial dirasakan semua warga, termasuk kelompok rentan dan difabel,” tutur Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah dan Koordinator GreenFaith Indonesia.
Di sepanjang rute, pesan kebersamaan menggema. Romo Macarius Maharsono Probho, SJ, dari Gereja Katolik menegaskan, “Pancasila adalah napas bersama kita. Gerakan kecil seperti ini perlu terus dihidupkan agar kemanusiaan yang adil dan beradab tak hanya menjadi slogan kosong, tetapi benar-benar terwujud dalam denyut nadi sehari-hari.”
Gema komitmen juga datang dari rumah-rumah ibadah. Gereja Katedral menjadi pelopor dengan penggunaan 30 persen energi surya dan fasilitas ramah difabel. Masjid Istiqlal telah memanfaatkan panel surya, mendaur ulang air wudlu, serta menggunakan material ramah lingkungan.
“Kami ingin masjid menjadi rumah ibadah hijau,” kata Yusuf Fauzi dari Badan Pengelola Masjid Istiqlal.
Sementara Pura Adhitya Jaya Rawamangun meneguhkan nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai rahmat yang mempersatukan di tengah keragaman.
“Perbedaan adalah anugerah, dan persatuan adalah kekuatan,” ujar Putu Maharta di hadapan peserta aksi.
Momen paling menyentuh terjadi di dalam Terowongan Silaturahim, simbol toleransi yang menghubungkan Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal, saat anak-anak muda membacakan Deklarasi Orang Muda Lintas Iman untuk Keadilan Iklim dan Gender.
Deklarasi itu berisi empat komitmen utama: transformasi ekologis yang inklusif, kepemimpinan setara gender, solidaritas lintas iman, dan perlindungan bagi kelompok rentan di tengah krisis iklim.
Fajri Hidayatullah, Ketua Umum HIDIMU, menegaskan bahwa difabel tak boleh ditinggalkan dalam perjuangan iklim. “Sahabat difabel harus dilibatkan sebagai bagian dari solusi,” ujarnya tegas.
Farah Sofa dari Ford Foundation, salah satu pendukung acara, menyebut gerakan ini sejalan dengan misi global menciptakan bumi yang lebih damai dan adil.
Bagi Hening Parlan, Walk for Peace and Climate Justice bukan sekadar simbol. “Inilah langkah awal membangun harapan bersama di tengah ancaman krisis,” tuturnya menutup rangkaian kegiatan.
Artikel Terkait
Jejak Dosa Tambang Nikel di Surga Raja Ampat
Menggali Nikel, Mengubur Kehidupan: Ketika Pulau Kecil Dikelupas Demi Tambang
Demi Tambang, Ribuan Pulau Kecil Indonesia Diambang Kehancuran
Ketika Tambang Jadi Primadona, Rakyat Menanggung Derita, Alam Memikul Luka
Ironi Nikel: Hijau di Negeri Orang, Hitam di Negeri Sendiri; Potret Dosa Ekologi Tambang Nikel Indonesia
Dari Terowongan Silaturahim, Anak Muda Lintas Iman dan Difable Bersatu Deklarasikan Keadilan Iklim