HUKAMANEWS GreenFaith - Pendapatan negara dari sektor pertambangan kerap dijadikan salah satu kebanggaan pemerintah. Namun, di balik angka-angka bombastis, muncul pertanyaan besar: apakah Indonesia benar-benar untung, atau justru buntung?
Pada 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat perolehan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp269,6 triliun. Angka ini menurun dibanding tahun 2023 yang mencapai Rp299,5 triliun (Kompas, 2024). Dari jumlah itu, minyak dan gas menyumbang Rp110,9 triliun, mineral dan batu bara Rp140,5 triliun, sedangkan sektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi hanya sekitar Rp2,8 triliun.
Kontribusi sektor energi dan pertambangan, jika dirujuk ke data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat menyumbang Rp2.198 triliun pada 2023, setara 10,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp20.892 triliun (BPS, 2024). Angka ini sekilas tampak menggembirakan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, sejumlah pihak mempertanyakan validitasnya.
Wishnu Try Utomo, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), menyoroti perbedaan data yang dirilis Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. “Khusus PNBP minerba, dari Kementerian Keuangan tercatat Rp107,8 triliun, bukan Rp140 triliun seperti diklaim ESDM,” ujarnya melansir CNN Indonesia, Rabu (26/6/2024).
Wishnu menilai, kontribusi pertambangan terhadap perekonomian sebenarnya lebih kecil jika dibandingkan sektor lain, seperti kehutanan, kelautan, dan perikanan, yang kontribusinya mencapai 13 persen dari total PDB.
“Kalau dilihat dari pendapatan negara di tahun 2024, justru turun dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Wishnu.
Ia juga mengingatkan bahwa sejumlah komoditas tambang menghadapi risiko penurunan permintaan di masa depan. Batu bara, misalnya, dinilai sudah tidak lagi diminati seiring tren global mengurangi emisi karbon untuk mitigasi krisis iklim.
“Komoditas seperti batu bara hampir usang. Tidak akan terlalu laku ke depan,” ujarnya.
Komoditas nikel pun, meski sempat digadang-gadang sebagai mineral strategis masa depan, berpotensi tertekan akibat oversupply global serta sorotan terhadap proses produksi yang mencemari lingkungan.
Kerugian Lingkungan
Wishnu juga menegaskan, nilai kerugian lingkungan akibat tambang jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh negara. Ia mencontohkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait limbah tailing PT Freeport Indonesia periode 2013 hingga 2015 yang menaksir potensi kerugian lingkungan mencapai Rp185 triliun.
Kasus lain adalah PT Timah, yang berdasarkan perhitungan Celios menimbulkan kerugian Rp271 triliun selama delapan tahun, atau rata-rata Rp33 triliun per tahun.
Secara nasional, kata Wishnu, kerugian akibat kerusakan ekosistem tambang diperkirakan sekitar Rp60 triliun per tahun. Angka itu berasal dari dampak deforestasi, pencemaran perairan, degradasi terumbu karang, hingga beban biaya kesehatan masyarakat sekitar tambang.
“Untuk memperbaiki kerusakan terumbu karang atau ekosistem laut tidak hanya butuh biaya besar, tetapi juga waktu yang sangat lama,” tutur Wishnu.
Artikel Terkait
Green Faith Indonesia: Tambang di Pulau Kecil Langgar Konstitusi dan Ajaran Agama
Raja Ampat Terancam Tambang, 4 Izin Dicabut, Apakah Cukup?
Jejak Dosa Tambang Nikel di Surga Raja Ampat
Menggali Nikel, Mengubur Kehidupan: Ketika Pulau Kecil Dikelupas Demi Tambang
Demi Tambang, Ribuan Pulau Kecil Indonesia Diambang Kehancuran