Janji Tinggal Janji, PLTU Batu Bara Justru Bertambah, Transisi Energi Jalan di Tempat

photo author
- Jumat, 30 Mei 2025 | 13:54 WIB
PLTU Indramayu 1 terlihat mengepulkan asap tebal pada malam hari. Emisi dari PLTU 1 ditengarai menjadi penyebab banyaknya penderita gangguan pernapasan pada penduduk di sekitar lokasi pembangkit listrik berbagan bakar batubara ini.
PLTU Indramayu 1 terlihat mengepulkan asap tebal pada malam hari. Emisi dari PLTU 1 ditengarai menjadi penyebab banyaknya penderita gangguan pernapasan pada penduduk di sekitar lokasi pembangkit listrik berbagan bakar batubara ini.

 

HUKAMANEWS GreenFaith - Pemerintah berencana menambah kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Kebijakan ini dinilai bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dalam transisi menuju energi bersih, sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun lalu.

Dalam RUPTL yang tengah disusun, pemerintah merencanakan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 59,2 gigawatt (GW) dalam satu dekade ke depan. Sebanyak 16,6 GW di antaranya berasal dari pembangkit berbasis fosil, terdiri atas 6,3 GW batu bara dan 10,3 GW gas. Sementara 42,6 GW lainnya berasal dari energi baru terbarukan (EBT), meliputi pembangkit surya, air, angin, panas bumi, bioenergi, hingga nuklir.

Rencana ini memicu kritik karena dinilai tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam forum G20 di Brasil pada November 2024. Saat itu, Presiden menyampaikan bahwa Indonesia akan mengakhiri operasional PLTU berbasis batu bara dan semua pembangkit berbahan bakar fosil dalam 15 tahun ke depan sebagai bagian dari upaya mencapai emisi nol bersih sebelum 2050.

“Kalau pembangunan PLTU terus dilakukan, sangat mungkin pembangkit itu tetap beroperasi hingga 2060. Ini tentu menjadi langkah mundur dalam proses transisi energi,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dilansir dari CNN Indonesia, Rabu (28/5).

Fabby juga menyoroti penambahan pembangkit gas sebesar 10,3 GW. Ia menilai langkah ini berisiko karena pasokan gas bumi domestik saat ini belum mencukupi, sehingga dapat menimbulkan ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada kenaikan biaya produksi listrik.

Meski demikian, pemerintah tetap memasukkan porsi besar EBT dalam RUPTL baru, seperti pembangkit surya (17,1 GW), air (11,7 GW), dan angin (7,2 GW). Namun demikian, target tersebut dinilai belum mencukupi untuk memenuhi komitmen dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), yang menuntut tambahan 54 GW kapasitas EBT hingga 2030.

Fabby juga mempertanyakan penyertaan pembangkit nuklir kecil (small modular reactor/SMR) dalam bauran energi, mengingat teknologi tersebut belum terbukti secara komersial. “Ini terkesan seperti sebuah pertaruhan karena biayanya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit fosil,” ujarnya.

Ketergantungan pada Batu Bara

Yayan Satyakti, pengamat energi dari Universitas Padjadjaran, melihat adanya dilema dalam kebijakan transisi energi nasional. Menurut dia, di satu sisi Indonesia menghadapi tekanan global untuk meninggalkan energi fosil. Namun, di sisi lain, keterbatasan teknologi dan tingginya biaya pengembangan EBT membuat batu bara tetap menjadi pilihan efisien untuk saat ini.

“Ketergantungan kita terhadap teknologi impor dan belum terbentuknya ekosistem EBT membuat biaya investasi masih tinggi. Ditambah lagi, daerah-daerah penghasil batu bara akan kehilangan pendapatan besar jika PLTU ditutup mendadak,” ujar Yayan.

Menurut dia, transisi yang terlalu cepat justru bisa mengganggu stabilitas ekonomi. Maka dari itu, ia mendorong pemerintah untuk mengembangkan teknologi seperti carbon capture and storage guna menekan emisi tanpa mematikan PLTU secara drastis.

Kekhawatiran Investor

Kebijakan penambahan PLTU dalam RUPTL juga dikhawatirkan akan menghambat minat investor di sektor EBT. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa ketidakkonsistenan arah kebijakan dapat menurunkan daya saing Indonesia dalam transisi energi.

“Investor butuh kepastian. Jika arah kebijakan pemerintah masih berat ke batu bara, maka investasi di sektor EBT, seperti panel surya dan baterai, bisa melambat,” ujar Bhima.

Bhima menilai keberhasilan RUPTL sangat bergantung pada keterlibatan investor swasta. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pemberian insentif serta jaminan risiko untuk menarik dan mempertahankan investasi di sektor energi terbarukan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X