Bukan Cuma Nelayan, Perempuan Pesisir Ternyata Jadi Garda Terdepan Hadapi Krisis Iklim dengan beban Ganda

photo author
- Senin, 21 April 2025 | 09:22 WIB
Di balik dampak perubahan iklim, perempuan pesisir berjuang tanpa suara.  (HukamaNews.com / Instagram @kotakitaorg)
Di balik dampak perubahan iklim, perempuan pesisir berjuang tanpa suara. (HukamaNews.com / Instagram @kotakitaorg)

Namun, dalam satu dekade terakhir, cuaca yang tidak menentu menyebabkan penurunan hingga 70% hasil tangkapan ikan.

Kondisi ini mendorong pergeseran sumber penghasilan dari sektor laut ke manufaktur, jasa, dan perdagangan yang pada akhirnya melibatkan lebih banyak perempuan dalam peran ekonomi.

Sayangnya, di tengah peran penting mereka, pengakuan terhadap hak-hak perempuan pesisir sering kali masih minim.

Konsep “Hak atas Kota” sebenarnya bisa menjadi jalan keluar untuk memperbaiki situasi ini.

Hak atas kota menekankan pentingnya rekognisi, representasi, dan partisipasi kelompok marginal, termasuk perempuan dalam kebijakan perkotaan, khususnya terkait keadilan iklim.

Baca Juga: Bandung Macet Makin Parah Bukan Takdir! Transportasi Publik Berkeadilan Bisa Cegah Krisis Iklim, tapi Siapa yang Peduli?

Artinya, perempuan pesisir punya hak untuk hidup di lingkungan yang sehat, aman, dan inklusif.

Mereka juga berhak atas akses yang setara terhadap sumber daya, hak milik atas tanah, dan tempat tinggal yang layak di tengah tekanan urbanisasi yang makin tinggi.

Keadilan iklim bagi perempuan bukan hanya soal meredam dampak bencana, tapi juga memperkuat daya tawar mereka dalam pembangunan kota.

Ketika perempuan dilibatkan secara aktif dalam diskusi dan pengambilan keputusan, maka solusi yang dihasilkan akan jauh lebih inklusif dan berdampak jangka panjang.

Krisis iklim seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan siapa yang paling terdampak dan siapa yang paling sering diabaikan.

Baca Juga: Perbedaan Adaptasi vs Mitigasi Perubahan Iklim, Beda Tipis Tapi Dampaknya Bisa Menyelamatkan Hidup

Jika kota dan kebijakan iklim kita masih belum mempertimbangkan suara perempuan pesisir, maka itu bukanlah kota yang adil.

Kini saatnya beralih dari sekadar “adaptasi iklim” menuju transformasi sosial yang lebih adil—dimulai dari pengakuan bahwa perempuan pesisir tidak bisa terus menanggung beban sendirian.

Karena kota yang benar-benar tangguh adalah kota yang memberi tempat setara bagi semua warganya.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kazuki Rahmadani

Sumber: Instagram

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X