HUKAMANEWS GreenFaith - Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia merayakan Ramadan sebagai bulan penuh berkah, yang identik dengan peningkatan spiritualitas dan ibadah.
Namun, di balik euforia Ramadan, ada satu kenyataan yang sering luput dari perhatian: meningkatnya jejak ekologis akibat konsumsi berlebihan dan produksi sampah yang melonjak tajam.
Inilah yang ingin diubah oleh gerakan "Ramadan Hijau," sebuah inisiatif yang berupaya menghubungkan nilai-nilai ibadah dengan kesadaran lingkungan.
Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan kesederhanaan, bukan malah meningkatkan konsumsi secara berlebihan. Sayangnya, di banyak tempat, Ramadan justru menjadi bulan di mana pola konsumsi meningkat drastis. Pasar-pasar takjil menjamur, sampah plastik dari kemasan makanan meningkat, dan pemborosan energi terjadi akibat penggunaan listrik yang berlebihan.
Hening Parlan, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, menekankan pentingnya memaknai Ramadan sebagai waktu untuk introspeksi, termasuk dalam cara kita memperlakukan lingkungan.
“Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari perilaku konsumtif yang merusak bumi. Ramadan harus menjadi bulan refleksi untuk menjalani gaya hidup yang lebih berkelanjutan,” ujar Hening saat hadir sebagai salah satu pembicaradalam program Mubaligh Hijrah yang dihelat oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta pada 26-27 Februari 2025 di Yogyakarta.
Acara Mubaligh Hijrah merupakan program tahunan yang telah berjalan sejak tiga dekade terakhir. Kali ini, acara diikuti oleh 312 peserta, di mana para dai diberikan pemahaman tentang pentingnya mengintegrasikan pesan ekologi dalam dakwah mereka.
Ustaz Miftahulhaq, Ketua Majelis Tabligh PWM DIY, menegaskan bahwa mubaligh memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran umat.
Baca Juga: Puji Tuhan! Paus Fransiskus Pulih dari Pneumonia, Ini Kondisi Terbarunya di Usia 88 Tahun
“Dakwah bukan hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi juga memberikan solusi terhadap masalah sosial dan lingkungan. Kita ingin Ramadan Hijau menjadi bagian dari dakwah berkelanjutan Muhammadiyah,” katanya.
Dalam sesi diskusi, Hening Parlan juga merupakan Direktur GreenFaith Indonesia mengungkapkan tantangan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Dari perubahan iklim yang ekstrem hingga pencemaran yang merusak ekosistem, ia menekankan bahwa umat Muslim perlu lebih proaktif dalam mengintegrasikan ajaran Al-Qur'an dengan tindakan nyata.
Hening mengatakan, sekitar 70% umat Muslim di Indonesia menyadari adanya perubahan iklim, tetapi hanya sedikit yang mengambil langkah konkret untuk mengatasinya.
“Kami ingin para mubaligh menjadi agen perubahan yang dapat mengedukasi umat untuk lebih peduli terhadap lingkungan,” tambah Hening Parlan.
Artikel Terkait
Kolaborasi Lintas Iman untuk Menggali Peran Agama dalam Mengelola Risiko Lingkungan
Puasa Energi di Ramadan, Muhammadiyah dan Greenfaith Dorong Transisi Energi Berkeadilan
Kolaborasi Lintas Agama dan Budaya Jadi Kunci Lingkungan Berkelanjutan
Tokoh Agama dan Lintas Iman Riau Bersatu Hadapi Krisis Lingkungan
Harmoni untuk Bumi, Ketika Iman Menjadi Kekuatan dalam Perjuangan Melawan Krisis Iklim di Maluku