Krisis Iklim Renggut Hak Belajar Anak-Anak, Ratusan Juta Murid Kehilangan Jam Belajar

photo author
- Minggu, 26 Januari 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi. SD Negeri Lopang Domba, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten, terendam banjir pada 6 Maret 2013.
Ilustrasi. SD Negeri Lopang Domba, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten, terendam banjir pada 6 Maret 2013.

HUKAMANEWS GreenFaith - Krisis iklim telah menjadi ancaman nyata yang merenggut masa depan ratusan juta anak di seluruh dunia. Data dari UNICEF menunjukkan bahwa satu dari tujuh anak tidak bisa masuk sekolah karena bencana cuaca ekstrem seperti gelombang panas, badai, banjir, dan kekeringan.

Pada tahun 2024 saja, setidaknya 242 juta anak di 85 negara kehilangan waktu belajar di sekolah akibat dampak buruk krisis iklim.

Bencana cuaca ekstrem ini tak hanya merusak fasilitas pendidikan tetapi juga mengganggu akses anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Di Pakistan, lebih dari 400 sekolah rusak akibat banjir pada April tahun lalu. Di Afghanistan, gelombang panas yang disusul banjir besar merusak lebih dari 110 sekolah pada bulan Mei. Bahkan di negara-negara maju seperti Italia dan Spanyol, hujan lebat dan banjir memaksa ratusan ribu anak berhenti bersekolah.

Baca Juga: Drill, Baby, Drill dan Pengkhianatan AS Terhadap Perjanjian Paris

Krisis Iklim dan Ketidaksetaraan Global

Lebih memprihatinkan, dampak krisis iklim paling parah dirasakan oleh negara-negara berpendapatan rendah di Asia dan sub-Sahara Afrika. Sebanyak 72 persen anak-anak yang terdampak cuaca ekstrem berasal dari negara-negara miskin.

Kekeringan yang diperparah oleh fenomena El Nino di Afrika, misalnya, telah mengancam pendidikan dan masa depan jutaan anak. Di Mozambik, Siklon Chido menghancurkan lebih dari 330 sekolah, memperburuk akses pendidikan yang memang sudah menjadi masalah serius di sana.

Bencana tidak hanya menghancurkan fisik sekolah, tetapi juga menghilangkan rasa aman dan stabilitas bagi anak-anak. Di Mayotte, sebuah wilayah Prancis di Samudra Hindia, Badai Siklon Chido dan Badai Tropis Dikeledi menghantam secara beruntun, memaksa anak-anak di pulau tersebut kehilangan pendidikan selama enam minggu.

Situasi ini menggambarkan bagaimana krisis iklim memperparah ketidaksetaraan global, di mana anak-anak di negara miskin menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dibandingkan anak-anak di negara kaya.

Baca Juga: Hening Parlan Raih Planet Award 2024, Inspirasi Hijau Indonesia untuk Dunia

Anak-Anak, Kelompok Paling Rentan

Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell, menekankan bahwa anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak krisis cuaca. Tubuh mereka lebih cepat panas dan lebih lambat dingin dibandingkan orang dewasa, membuat mereka lebih rentan terhadap gelombang panas.

Selain itu, anak-anak sulit berkonsentrasi di ruang kelas tanpa ventilasi yang memadai saat suhu melonjak, atau bahkan tidak bisa bersekolah sama sekali jika jalan menuju sekolah terendam banjir.

Lebih dari sekadar dampak fisik, krisis ini mengganggu stabilitas mental anak-anak. Ketidakpastian yang disebabkan oleh bencana membuat mereka kehilangan rasa aman, sehingga memengaruhi kemampuan mereka untuk belajar dan berkembang.

Baca Juga: Awas! 3 Perilaku Ini Bisa Bikin Anda Berurusan dengan Hukum Tanpa Disadari!

UNICEF menyoroti bahwa sistem pendidikan global tidak siap menghadapi dampak krisis iklim. Banyak sekolah tidak memiliki infrastruktur yang mampu menahan cuaca ekstrem, seperti ventilasi untuk menghadapi gelombang panas atau bangunan tahan banjir. Padahal, pendidikan adalah hak dasar anak yang seharusnya dilindungi dalam kondisi apapun.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X