Sayuran dari China? Naik 20% sejak awal tahun. Data ini berupa fakta, bukan prediksi!
Ketergantungan pada USD dalam transaksi impor ini membuat MBG menjadi bumerang, kenapa?
Bayangkan, untuk memenuhi kebutuhan 80 juta anak sekolah dan ibu hamil, pemerintah harus mengimpor lebih banyak lagi, dan semua barang itu dibayar dalam USD yang tentunya semakin mahal.
Inflasi pangan sudah mencapai 6,8% pada Maret 2025, dan kerennya, ini baru permulaan saja. Rakyat mungkin dapat makan gratis sejenak, tetapi harga kebutuhan pokok lain akan melambung seiring melemahnya IDR terhadap USD, daya beli anjlok, dan kemiskinan semakin merajalela.
Hilirisasi dan Indonesia yang menjadi jongos China
Hilirisasi, yang oleh Prabowo disebut-sebut sebagai senjata pamungkas melawan tarif AS, mengatakan bahwa dengan mengekspor produk hasil hilirisasi seperti nikel-feronikel, atau bauksit, digadang-gadang bakal menambah nilai ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah.
Baca Juga: Respon Tarif Impor yang Diberlakukan Trump, Bank Indonesia Komitmen Jaga Kestabilan Nilai Rupiah
"Tapi, mari saya ungkap informasi yang tidak semua orang tahu, bahwa sebenarnya mayoritas produk hasil hilirisasi Indonesia masih dalam bentuk setengah jadi!"
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, 70% ekspor nikel-feronikel Indonesia senilai 20 miliar USD, tujuan utamanya adalah China.
Di sana, China mengolahnya lagi menjadi stainless steel/baja hingga baterai lithium, lalu dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang lebih mahal untuk proyek-proyek yang dikuasai oleh perusahaan asal China, seperti proyek kereta cepat, smelter, hingga pertambangan yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh perusahaan asal China.
Terakhir, Prabowo menggantungkan harapan pada BRICS sebagai penyelamat dari tekanan AS. Pikirnya, mitra dagang seperti Rusia atau Iran bisa jadi solusi dalam hal kebutuhan impor minyak mentah yang murah, dan kerja sama ini akan mengurangi ketergantungan pada terhadap US.
Tapi, strategi itu hanya manipulasi murahan yang hanya memperlihatkan ketidakpahaman Prabowo! Faktanya, perdagangan minyak global, termasuk dengan anggota BRICS, masih didominasi oleh USD.
Data dari OPEC di tahun 2024, menjelaskan bahwa 90% impor minyak mentah Indonesia, termasuk dari Iran dan Rusia, diselesaikan dalam transaksi USD. Harga minyak Brent yang sebesar 80 USD per barel, terasa seperti 100 USD per barel bagi Indonesia karena rupiah yang terus impoten. Jadi, apa bedanya dengan impor dari US atau Arab Saudi? Toh, sama-sama masih menggunakan USD.
Bahkan jika BRICS ingin transaksi memakai mata uang lokal, Indonesia belum siap sama sekali. Infrastruktur pembayaran lintas negara dalam IDR masih minim, hanya 0,5% transaksi ekspor-impor Indonesia yang memakai IDR.
Yuan atau Rubel? Jangan harap likuid di pasar domestik kita. Rusia memang menjual minyak ke China dengan menggunakan Yuan, sekitar 60% perdagangan mereka berhasil lepas dari USD, menurut laporan dari Bloomberg.
Tapi Indonesia? Masih nol progres.