Strategi diversifikasi pasar pun mulai digencarkan, dengan target ke negara-negara seperti Kanada, Korea Selatan, dan India—sebagai bentuk upaya lepas dari ketergantungan pada pasar Amerika.
Uni Eropa sendiri sedang merumuskan balasan yang tak kalah tajam.
Tarif balik dan pembatasan akses perusahaan-perusahaan AS ke pasar Eropa menjadi opsi yang tengah dikaji serius.
Jika skenario perang dagang penuh terjadi, maka bukan tak mungkin kita akan menyaksikan resesi global kedua setelah krisis finansial 2008.
Dari dalam negeri AS sendiri, suara yang terdengar tak tunggal.
Serikat pekerja seperti Teamsters mendukung langkah ini dengan harapan akan menghidupkan kembali industri dalam negeri.
Namun, serikat besar lainnya seperti United Auto Workers (UAW) masih meraba dampaknya secara menyeluruh.
Kekhawatiran utama mereka adalah efek jangka panjang—terutama pada sektor manufaktur dan logistik yang sangat bergantung pada rantai pasok global.
Sementara itu, beberapa produsen memang melaporkan lonjakan permintaan dan berniat menambah tenaga kerja.
Namun di balik itu, para analis memperingatkan bahwa efek domino negatif seperti inflasi dan PHK besar-besaran bisa datang tiba-tiba.
Baca Juga: Saat Peredaran Uang Turun di Lebaran 2025 Turun 16 Persen, Pemerintah Harus Intervensi
Tak hanya negara kecil atau perusahaan rintisan yang terpapar.
Raksasa otomotif asal Inggris, Jaguar Land Rover, bahkan sudah menghentikan sementara ekspor ke Amerika sebagai respons terhadap tarif kendaraan 25 persen.
Langkah tersebut menunjukkan bahwa korporasi besar pun harus menyesuaikan strategi dagangnya demi bertahan di tengah gejolak kebijakan.