analisis

Gaduh Ijazah Jokowi: Jejak Hoaks Berulang di Balik Kabut Polemik yang Difabrikasi

Rabu, 19 November 2025 | 17:15 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Masalah terbesar bukan pada tuduhan itu sendiri, melainkan pada cara informasi kini dikonsumsi. Di media sosial, hoaks berlari lebih cepat daripada klarifikasi. Narasi bohong tampil dengan gaya seolah hasil riset ilmiah, lengkap dengan istilah teknis yang terdengar canggih, padahal hanya fabrikasi yang dipoles sedemikian rupa.

Diana C. Mutz, profesor ilmu politik dan komunikasi dari University of Pennsylvania, menjelaskan dalam studinya bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan perubahan pola konsumsi berita menjadikan media massa—termasuk media sosial—sebagai mesin polarisasi. Publik memilih informasi yang meneguhkan keyakinan mereka, menghindari yang tidak cocok, lalu secara perlahan terjebak dalam gema digital. Di ruang seperti itu, kebenaran mudah kalah oleh pembenaran, dan data sering tenggelam di bawah emosi.

Inilah dunia post-truth. Tempat kebenaran bisa dinegosiasikan, direkayasa, atau digeser sesuai selera politik.

Baca Juga: Tarif Listrik PLN November–Desember 2025 Tetap, Pemerintah Beri Diskon 50 Persen Tambah Daya

Tidak mengherankan jika tiga nama tiba-tiba naik daun: Roy Suryo, Dr. Tiffa, dan Rismon. Mereka tampil bak pengungkap konspirasi besar, lengkap dengan gaya akademik dan presentasi yang dibuat seolah menggetarkan republik. Publik tegang. Kamera fokus. Namun yang terjadi lebih dekat dengan stand-up comedy politik daripada sidang ilmiah.

Dan ujung dari semua itu? Bukan pembuktian hukum. Bukan riset akademik. Tetapi… jualan buku.

Pertanyaan yang sederhana tapi menohok pun muncul: jika bukti mereka begitu kuat, mengapa tidak dibawa ke jalur hukum? Mengapa justru sibuk memproduksi konten dan memanen popularitas? Publik akhirnya melihat bahwa yang dibangun bukan kebenaran, melainkan bisnis sensasi berbalut retorika ilmiah.

Fabrikasi seperti ini menyedot energi publik, merusak ketajaman berpikir, dan mempertebal polarisasi yang sudah rumit sejak lama. Yang lebih ironis, persoalan nyata masyarakat tenggelam dalam kabut hoaks yang terus diputar demi kepentingan tertentu.

Di titik inilah kita perlu mengingat sesuatu yang lebih mendasar: isu ijazah Jokowi sesungguhnya hanyalah masalah kecil. Negara tidak boleh bersikap gamang menyikapi kasus ini. Negara harus tegas menindak siapa pun yang terbukti bersalah. Tidak ada ampun bagi setiap orang yang terbukti melakukan perbuatan pidana. Ketegasan seperti inilah yang menjadi pagar agar republik ini tidak dikuasai hoaks, manipulasi, dan permainan opini yang memutarbalikkan fakta.

Baca Juga: Ramai Dibahas Publik! KPK Beberkan Status Bobby Nasution di Kasus Jalan Rp 231 M yang Bikin Heboh Sumut

Karena itu kita harus kembali pada prinsip dasar: bening bernalar. Hukum tidak lahir dari siapa yang paling keras berteriak, tetapi dari siapa yang paling dekat pada fakta. Dalam perkara ini, penyidik Polri-lah yang memegang fakta-faktanya, bukan mereka yang sibuk berebut panggung.

Pada akhirnya, polemik ini semestinya membawa kita pada satu kesadaran: negara tidak boleh kalah oleh fabrikasi hoaks. Kebenaran tidak boleh tunduk pada kebisingan digital. Dan demokrasi terlalu berharga untuk diseret oleh rumor yang bahkan tidak berdiri di atas pondasi bukti.

Ketika kabut hoaks semakin pekat, hanya nalar dan kerja tangan yang sungguh-sungguh turun ke lapanganlah yang mampu membuka jalan.***

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB