analisis

Soeharto dan Bayangan Orde Baru: Saat Bangsa Belajar Menatap Sejarah dengan Kearifan

Senin, 10 November 2025 | 06:00 WIB
Presiden ke 2 RI HM Soeharto. Menjelang Hari Pahlawan, perbincangan mengenai layak tidaknya Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional kembali mengemuka.

Baca Juga: Terungkap! 3 RS di Jember Diduga Mark Up Klaim BPJS, DPRD Turun Tangan Bongkar Fakta di Baliknya

Dua Wajah Sejarah yang Tak Terpisahkan

Soeharto, sebagaimana Soekarno, adalah sosok dengan dua wajah sejarah: Selama lebih dari tiga dekade memimpin negeri ini, Soeharto membawa Indonesia keluar dari jurang inflasi, membangun fondasi infrastruktur nasional, memperluas akses pendidikan, dan menjaga stabilitas politik di tengah guncangan global.

Namun, sejarah juga mencatat sisi kelam masa pemerintahannya—pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan sipil, dan praktik korupsi yang membekas dalam ingatan publik. Dua sisi ini tidak bisa dipisahkan. Menghapus salah satunya berarti menolak kenyataan sejarah bangsa sendiri.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan sejarahnya sendiri. Menghargai jasa tidak berarti melupakan kesalahan, dan mengingat kesalahan tidak berarti menghapus jasa. Pemikiran semacam inilah yang idealnya tumbuh di tengah masyarakat: kesadaran bahwa sejarah harus dipahami dengan kearifan, bukan kebencian. Indonesia kini berada pada fase penting dalam perjalanan kebangsaan—di mana memori masa lalu semestinya tidak lagi dijadikan alat perpecahan, melainkan bahan refleksi untuk memperkuat jati diri nasional.

Baca Juga: Rupiah Mau Disederhanakan? RUU Redenominasi Rp1.000 Jadi Rp1 Ditargetkan 2027, Airlangga: Belum Ada Rencana

Belajar dari Masa Lalu, Melangkah ke Masa Depan

Soeharto adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang Republik ini. Dari kepemimpinannya, bangsa ini belajar tentang arti stabilitas, ketegasan, dan tanggung jawab dalam membangun. Namun dari kekeliruannya, kita juga belajar pentingnya akuntabilitas, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

Kini, tantangan kita bukan lagi memperdebatkan siapa yang paling berjasa, melainkan bagaimana semangat pengabdian itu bisa diteruskan dalam bentuk yang relevan bagi zaman ini. Ketika Soekarno bermimpi tentang kemerdekaan dan Soeharto membangun fondasi ekonomi nasional, generasi hari ini ditantang untuk melanjutkan estafet itu: membangun keadilan, menegakkan etika, dan menjaga marwah bangsa di tengah dunia yang berubah cepat.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto semestinya menjadi momen untuk meneguhkan nilai-nilai itu. Sebab kepahlawanan bukan soal kesempurnaan, melainkan tentang dedikasi dan tanggung jawab terhadap bangsa. Seorang pahlawan tidak harus tanpa cacat, tapi ia selalu memiliki tekad kuat untuk membawa bangsanya keluar dari masa sulit.

Baca Juga: 5 Isu Panas Politik dan Hukum Terkini, Dari Putusan MKD DPR hingga Kasus Korupsi Gubernur Riau

Dan di situlah makna terdalam dari penghargaan ini: sebuah ajakan bagi kita semua untuk tidak lagi menilai sejarah dengan hitam-putih, tetapi dengan kebijaksanaan yang melihat seluruh warna perjalanan bangsa. Karena Indonesia tidak akan pernah maju jika terus terjebak dalam luka masa lalu.

Yang dibutuhkan hari ini adalah keberanian untuk mengingat dengan jernih, memaafkan dengan ikhlas, dan melangkah dengan keyakinan bahwa setiap bab sejarah—sebaik dan seburuk apa pun—adalah bagian dari proses menuju kedewasaan nasional.

Sejarah tidak akan pernah berhenti menulis, tetapi manusialah yang menentukan apakah tinta yang digunakan akan menjadi racun perpecahan atau cahaya peradaban.***

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB