HUKAMANEWS - Sejarah kerap hadir bukan untuk diadili, melainkan dipahami dengan jernih. Dalam setiap babak perjalanan bangsa, selalu ada sosok yang memantik perdebatan tentang makna pengabdian serta batas antara jasa dan dosa kekuasaan. Menjelang Hari Pahlawan, perbincangan mengenai layak tidaknya Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional kembali mengemuka.
Di tengah arus opini yang beragam, Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., pengamat hukum dan politik mengajak publik menimbang ulang: apakah bangsa ini benar-benar telah berdamai dengan masa lalunya, atau justru masih terjebak dalam luka sejarah yang belum tuntas? Berikut ini catatan lengkapnya.
***
Antara jasa pembangunan dan bayang kelam Orde Baru, wacana gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto memaksa kita bercermin: apa arti kepahlawanan?
SEJARAH tidak hanya mencatat luka, tapi juga kerja keras dan pengabdian. Ia bukan catatan hitam putih yang memisahkan kebaikan dan kesalahan, melainkan mozaik perjalanan bangsa yang terbentuk dari keberanian, pengorbanan, dan keputusan manusia di zamannya. Maka ketika nama almarhum Presiden Soeharto kembali disorot, sesungguhnya bangsa ini sedang diuji: apakah kita sudah cukup dewasa untuk menilai masa lalu dengan kearifan?
Menjelang peringatan Hari Pahlawan, perdebatan lama kembali bergema: layakkah Presiden ke-2 RI Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional? Isu ini menghangat di tengah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto, yang berupaya meneguhkan semangat rekonsiliasi dan penghargaan terhadap jasa para tokoh bangsa lintas zaman.
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sesungguhnya bukan hal baru. Sejak lebih dari satu dekade lalu—tepatnya sejak 2010—nama Soeharto berulang kali masuk dalam daftar usulan. Namun hingga kini, usulan itu belum berujung pada keputusan resmi. Proses menuju gelar Pahlawan Nasional memang tidak sederhana. Di balik setiap nama yang diajukan, terdapat rangkaian panjang penelitian, pengkajian, dan verifikasi berlapis di tingkat daerah hingga pusat yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Karena itu, munculnya kembali nama Soeharto dalam momen menjelang Hari Pahlawan tahun ini bukan sekadar sensasi politik, melainkan bagian dari dinamika sejarah yang terus mencari keseimbangannya sendiri.
Bagi sebagian kalangan, Soeharto adalah simbol kekuasaan panjang yang penuh kontroversi. Namun bagi sebagian lain, ia adalah sosok yang berjasa besar dalam membangun pondasi ekonomi dan stabilitas nasional setelah masa-masa sulit pasca kemerdekaan. Kedua pandangan ini sama-sama memiliki dasar, sebab sejarah memang tak pernah tunggal. Ia selalu menghadirkan wajah ganda—antara idealisme dan pragmatisme, antara keberhasilan dan kekeliruan.
Presiden RI ke 7 Joko Widodo menanggapi kabar ini dengan nada positif. Ia menegaskan bahwa penganugerahan gelar pahlawan bukan bentuk glorifikasi masa lalu, melainkan pengakuan terhadap jasa besar seorang tokoh bangsa yang berkontribusi membangun negeri. Pandangan semacam ini kini terasa relevan kembali—seolah menjadi pengingat bahwa menatap sejarah tidak harus dengan amarah, melainkan dengan keseimbangan antara akal dan nurani.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, semangat itu menemukan konteks baru. Pemerintahan ini tengah menapaki fase awal yang menekankan pentingnya persatuan nasional dan penghormatan terhadap seluruh elemen sejarah bangsa. Dalam kerangka inilah, pembicaraan tentang gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto semestinya tidak dilihat sebagai langkah politik, tetapi sebagai refleksi kedewasaan bangsa dalam memandang perjalanan sejarahnya sendiri.
Sikap untuk menghormati jasa tokoh bangsa tidak berarti menutup mata atas kesalahan mereka. Sebaliknya, penghargaan justru menjadi momen untuk menimbang ulang apa yang dapat kita pelajari dari keberhasilan dan kekeliruan mereka. Dengan cara inilah bangsa bisa tumbuh dewasa: bukan dengan menolak masa lalu, tetapi dengan mengelolanya dengan bijaksana.
Artikel Terkait
“Mental Stunting” Pejabat
Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan
DPR dan Mutu Rendah Legislasi
Satu Tahun Prabowo–Gibran: Antara Janji, Diplomasi, dan Cermin Realitas Rakyat
Narasi Jahat di Balik Upaya Sistematis Menjatuhkan Jokowi dan Keluarganya
Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”