HUKAMANEWS - Kerusuhan yang pecah pada akhir Agustus 2025 mengingatkan bangsa ini pada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Jalanan dipenuhi amarah rakyat yang merasa dikhianati oleh wakilnya sendiri. Kontras antara kemewahan gaji dan tunjangan DPR dengan jeritan rakyat yang bergulat dengan harga pangan dan biaya hidup menyalakan api protes. Namun, yang lebih menyakitkan, protes damai itu berujung tragedi ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dalam kekacauan.
Di tengah situasi inilah, pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH. dalam catatan analisis politiknya mengingatkan bahwa demokrasi akan kehilangan ruh jika negara terus mempraktikkan kekuasaan tanpa empati. Menurutnya, krisis yang dihadapi Indonesia bukan sekadar soal kebijakan, melainkan soal hilangnya keberpihakan pada rakyat. Seruan “Jaga Indonesia” karenanya bukan hanya tentang meredam kerusuhan, melainkan mengembalikan kepercayaan publik bahwa negara ada untuk melindungi, bukan mengabaikan. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
DUA PULUH TUJUH tahun lalu, bangsa ini pernah mengalami luka mendalam: kerusuhan Mei 1998. Ingatan pahit itu masih membekas hingga kini. Luka yang lahir dari ketidakadilan, kesenjangan, dan arogansi kekuasaan. Kini, pada Agustus 2025, bayangan itu kembali menghantui kita.
Gelombang protes besar di penghujung Agustus menjadi alarm keras yang tak bisa diabaikan. Ribuan mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online, hingga rakyat biasa turun ke jalan. Mereka menuntut keadilan atas kebijakan pemerintah dan DPR yang dianggap menyulitkan rakyat, sementara para wakil rakyat menikmati gaji dan tunjangan fantastis yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Kontras itu terasa seperti garam di atas luka rakyat yang sedang bergulat dengan harga pangan, biaya hidup, dan pekerjaan yang tak pasti.
Namun, protes yang awalnya damai berubah ricuh. Barikade aparat didobrak, kendaraan dibakar, dan gedung DPR menjadi sasaran kemarahan. Tragedi puncaknya menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Affan bukan demonstran garis depan. Ia hanya sedang mengantar pesanan. Nyawanya melayang di tengah kekacauan. Namanya seketika digaungkan di media sosial sebagai martir demokrasi.
Di sinilah letak persoalan mendasar. Saat rakyat menyuarakan protes, negara merespons dengan represi. Saat rakyat menagih keadilan, elite politik justru menutup telinga. Tindakan aparat yang berlebihan, ditambah komentar kasar dan minim empati dari sejumlah anggota DPR, hanya menambah bara kemarahan publik. Akumulasi frustrasi yang lama terpendam pun akhirnya meledak tanpa kendali.
Pemerintah memang kemudian mengumumkan pencabutan sejumlah tunjangan DPR serta menunda perjalanan dinas ke luar negeri. Tetapi langkah korektif itu datang terlambat. Luka sudah telanjur menganga. Pertanyaan yang lebih mendasar ialah: mengapa kebijakan semacam itu bisa lolos sejak awal? Mengapa wakil rakyat merasa pantas hidup dalam kemewahan di saat rakyatnya berjuang sekadar untuk bertahan hidup?
Kerusuhan ini meninggalkan dampak serius lain. Beberapa gedung DPRD daerah dibakar. Investor asing mulai meragukan stabilitas politik Indonesia. Dunia usaha pun gamang. Jika kepercayaan runtuh, yang paling menderita lagi-lagi adalah rakyat. PHK massal bisa terjadi, lapangan kerja lenyap, dan jutaan keluarga kehilangan penghidupan.
Pada titik ini, kita harus jujur mengakui: yang paling rugi bukan elite politik, melainkan rakyat kebanyakan. Anggota DPR yang rumahnya dijarah masih punya aset dan tabungan melimpah. Tetapi rakyat kecil yang kehilangan pekerjaan, siapa yang akan menolong mereka?
Seruan “Jaga Indonesia” harus dimaknai lebih dalam. Ia bukan sekadar ajakan menahan diri dari kerusuhan, melainkan juga seruan moral agar seluruh pihak berbenah. Rakyat memang harus menolak provokasi yang ingin menjerumuskan bangsa dalam kekacauan. Namun, pemerintah dan parlemen juga wajib menunjukkan keberpihakan nyata: kebijakan yang adil, sikap yang rendah hati, dan kesediaan untuk mendengar.
Menjaga Indonesia berarti menolak lupa. Kita tak boleh terjebak dalam siklus kekerasan yang sama. Menjaga Indonesia berarti merawat kepercayaan publik, membangun empati, dan menghadirkan politik yang manusiawi. Demokrasi hanya bisa hidup jika suara rakyat dihormati, bukan dibungkam; jika aspirasi direspons dengan kebijakan berpihak, bukan sekadar janji kosong.
Masyarakat pun perlu bercermin. Kekerasan dan penjarahan bukanlah jalan keluar. Aspirasi kehilangan makna ketika dibungkus tindakan brutal. Namun, tanggung jawab terbesar tetap berada di pundak negara. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi setiap warga, termasuk mereka yang turun ke jalan.