HUKAMANEWS - Lonjakan angka kemiskinan Indonesia pasca revisi metode penghitungan Bank Dunia bukan sekadar pukulan statistik, tapi tamparan realitas yang menyakitkan. Lebih dari separuh rakyat hidup di bawah garis penghidupan layak, di tengah belanja negara yang terus membengkak. Ironisnya, akar dari semua persoalan tetap sama, yakni korupsi yang tak kunjung diberantas.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, dalam catatan analisis politiknya menyebutkan inilah momentum krusial bagi Presiden Prabowo untuk membuktikan bahwa janji pemberantasan korupsi bukan sekadar orasi politik. Sebab tanpa membersihkan sistem dari hulu ke hilir, mimpi menghapus kemiskinan hanyalah fatamorgana berbiaya mahal.
***
PEMERINTAHAN Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mempunyai sejumlah pekerjaan rumah besar. Di antara yang paling mendesak adalah kemiskinan yang membelit mayoritas rakyat, serta korupsi yang kian merajalela dan menggerogoti fondasi negara.
Dua persoalan ini bukan sekadar berdiri berdampingan. Keduanya saling berkait, saling memperkuat, dan pada titik tertentu saling melanggengkan. Sebab itu, tidak mungkin bicara tentang pengentasan kemiskinan tanpa menyentuh akar korupsi; sebagaimana pula tidak mungkin memberantas korupsi tanpa berpijak pada kebenaran dan kepentingan rakyat miskin.
Bank Dunia pada pertengahan 2025 merilis pembaruan metode penghitungan kemiskinan global dengan menggunakan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) 2021. Perubahan ini membuat garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah atas—kategori yang kini disandang Indonesia—meningkat dari 6,85 dollar AS menjadi 8,30 dollar AS per orang per hari.
Implikasinya sangat besar. Dengan pendekatan baru ini, jumlah penduduk miskin Indonesia melonjak signifikan, dari sekitar 60 persen menjadi 68 persen populasi. Sekitar 194 juta jiwa masyarakat Indonesia kini dikategorikan miskin menurut standar Bank Dunia.
Kontras dengan itu, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen pada September 2024. Perbedaan ini tak hanya mencerminkan metodologi yang berlainan—PPP Bank Dunia versus pendekatan kebutuhan dasar (CBN) oleh BPS—tetapi juga mengisyaratkan jarak antara realitas dan narasi formal, bahkan tanggung jawab sosial Negara terhadap semua persolan masyarakat miskin masih sangat kurang.
Angka sesungguhnya mungkin berada di antara keduanya. Namun perubahan metode ini mestinya menyadarkan kita bahwa kemiskinan bukan semata persoalan statistik, melainkan kenyataan sosial yang dialami jutaan warga negara. Ia menyangkut akses terhadap makanan bergizi, air bersih, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Dan dalam banyak kasus, akses itu terhambat bukan karena negara tak mampu, melainkan karena negara tak bersih.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi “hingga ke akar”, dengan penegakan hukum yang tegas dan dukungan teknologi digital. Ia juga menyitir pepatah bahwa “ikan busuk dimulai dari kepala”, menekankan pentingnya keteladanan dari pucuk pimpinan.
Pernyataan itu tentu layak diapresiasi. Namun, publik menanti lebih dari sekadar retorika. Sebab, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi sering kali kandas pada inkonsistensi, lemahnya penegakan hukum, dan kompromi politik. Tidak sedikit tokoh yang bersumpah antikorupsi, namun kemudian terjerat praktik yang justru mereka kecam.
Presiden Prabowo berada di titik krusial untuk membuktikan bahwa janji pemberantasan korupsi bukan sebatas pidato pelantikan. Ia harus memastikan bahwa penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap kolega, sekutu politik, maupun aktor ekonomi besar yang selama ini punya privilese dalam sistem kekuasaan.
Korupsi, pada hakikatnya, adalah antitesis keadilan sosial. Ketika dana pembangunan diselewengkan, yang paling terdampak adalah kelompok paling rentan. Program pengentasan kemiskinan kehilangan daya dorongnya, layanan publik menurun mutunya, dan kepercayaan masyarakat terhadap negara pun mengikis.
Oleh karena itu, komitmen antikorupsi semestinya tidak dilihat sebagai agenda teknokratik semata, tetapi sebagai bagian dari strategi besar pengentasan kemiskinan dan pemulihan kepercayaan publik. Untuk itu, diperlukan keterbukaan data anggaran, penguatan pengawasan internal dan eksternal, reformasi birokrasi, serta pelibatan masyarakat sipil dalam pengawalan kebijakan.