HUKAMANEWS - Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti Indonesia, menghambat pertumbuhan ekonomi, memperlebar kesenjangan sosial, dan merusak kepercayaan publik. Kini, semua mata tertuju pada Presiden Prabowo Subianto: apakah ia benar-benar serius dalam memberantas korupsi atau sekadar bermain dengan retorika politik? Berbagai kebijakannya menimbulkan pertanyaan besar—dari rencana penjara pulau terpencil hingga wacana pengampunan koruptor.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya tegas menyebutkan bahwa bila tanpa penegakan hukum yang tegas, tanpa pemiskinan koruptor, dan tanpa reformasi nyata, perang melawan korupsi hanyalah omong kosong. Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengingatkan bahwa rakyat tidak butuh retorika bombastis, mereka butuh tindakan nyata. Jika Prabowo tidak segera mengubah mindset kepemimpinannya, maka pemberantasan korupsi di eranya tak akan lebih dari sekadar ilusi. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
LEIGH McKirnon, seorang executive headhunter yang telah bekerja di Indonesia selama enam tahun, mengkritik budaya kerja di negara ini, terutama kebiasaan rapat yang sangat berlebihan. Meski banyak orang Indonesia terlihat sibuk, kenyataannya efektivitas kerja mereka sangat rendah. Rapat sering kali hanya menjadi ajang diskusi tanpa tindak lanjut yang jelas. Berbagai pertemuan dengan nama berbeda seperti seminar, diskusi, hingga groundbreaking, lebih sering menjadi formalitas ketimbang sarana penyelesaian masalah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di sektor swasta, tetapi juga di pemerintahan dan organisasi politik. Waktu yang terbuang dalam rapat yang tidak produktif sangatlah besar, sementara perubahan yang dihasilkan nyaris tidak ada. Lebih buruk lagi, budaya ini menjadi tempat berkembang biaknya korupsi dan ketidakpedulian masyarakat. Seperti yang dikatakan Della Ferreira, “Ketidakpedulian masyarakat adalah tempat berkembang biak terbaik bagi tumbuhnya korupsi.”
Masalah tidak berhenti di sana. Indonesia juga menghadapi krisis kepercayaan di pasar finansial. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga minus 5,02%, memaksa otoritas bursa melakukan trading halt. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh menurunnya kepercayaan investor, baik dalam maupun luar negeri, terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Indeks saham Primbank 10, termasuk Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN, juga mengalami koreksi besar. Net Foreign Sell mencatat adanya capital outflow dan capital flight dalam jumlah besar sejak awal tahun. Jika situasi ini terus dibiarkan, fundamental ekonomi nasional bisa runtuh.
Krisis ini semakin diperparah dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para elite penguasa. Dari rezim ke rezim, praktik korupsi tidak berkurang, justru semakin merajalela. Pengusaha hitam yang berkonspirasi dengan pejabat negara terus menggerogoti anggaran negara. Negara tidak boleh kalah dengan para tikus yang selama puluhan tahun menjarah uang rakyat.
Prabowo dan Tantangan Pemberantasan Korupsi
Sebagai pemimpin tertinggi, Presiden Prabowo Subianto memiliki tanggung jawab besar untuk menindak tegas korupsi di Indonesia. Ia harus berani mencopot pejabat yang terbukti korup tanpa pandang bulu. Jika Prabowo ragu atau gamang dalam mengambil langkah, maka akan semakin banyak pihak yang berusaha merongrong pemerintahannya dari dalam. Dalam politik Indonesia, uang bisa membeli teman, tetapi tidak teman yang baik. Kepekaan dan intuisi Prabowo dalam mengelola pemerintahan akan menjadi kunci keberhasilannya.
Namun, hingga saat ini, kebijakan Prabowo dalam pemberantasan korupsi masih dipertanyakan. Beberapa usulan kontroversial, seperti penjara koruptor di pulau terpencil yang dikelilingi hiu, lebih terdengar seperti retorika politik daripada solusi konkret. Bahkan, wacana pengampunan koruptor yang mengembalikan uangnya secara diam-diam menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Dibandingkan dengan China, yang menghukum mati pejabat tinggi Bank of China karena korupsi, pendekatan Indonesia masih terkesan lembek dan tidak efektif.
Penjara bukanlah solusi utama dalam memberantas korupsi. Akar masalahnya adalah lemahnya sistem hukum dan kurangnya mekanisme pemulihan aset. Indonesia harus segera mengesahkan RUU Perampasan Aset untuk memastikan bahwa uang hasil korupsi dapat dikembalikan ke kas negara. Sayangnya, hingga kini, RUU ini tidak masuk dalam prioritas legislasi nasional.
Selain itu, Prabowo harus memastikan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama pemerintahan sebelumnya semakin dilemahkan. Reformasi aparat penegak hukum menjadi keharusan agar sistem hukum tidak lagi tunduk pada kepentingan politik.
Kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun menjadi ujian pertama bagi Prabowo. Jika vonis yang diberikan masih ringan, maka korupsi akan terus berulang, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin runtuh. Indonesia harus belajar dari negara-negara seperti China dan Singapura, yang menerapkan sistem hukum tegas dan transparan untuk memberantas korupsi.