HUKAMANEWS - Presiden Prabowo baru-baru ini menyinggung adanya "raja kecil" di dalam birokrasi yang melawan kebijakan efisiensi anggaran. Dalam pidatonya di Kongres XVIII Muslimat NU di Surabaya, ia menegaskan bahwa penghematan anggaran adalah upaya untuk memangkas pengeluaran yang tidak produktif, mubazir, atau bahkan menjadi celah korupsi. "Saya ingin menghemat uang, uang itu untuk rakyat, untuk memberi makan anak-anak rakyat," tegasnya. Namun, alih-alih mendukung langkah ini, sejumlah pejabat di kementerian, lembaga, dan daerah justru meradang. Mengapa?
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya mengupas lebih dalam tentang konflik antara kebijakan efisiensi anggaran, mentalitas korup dalam birokrasi, serta dampaknya terhadap proyek-proyek strategis yang seharusnya menjadi prioritas untuk kepentingan rakyat. Berikut catatan lengkapnya.
***
DALAM administrasi pemerintahan, efisiensi bukan sekadar penghematan, melainkan optimalisasi anggaran agar setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan manfaat maksimal. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi sering kali dijadikan tameng untuk memangkas anggaran tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Baca Juga: Ekstradisi Paulus Tannos, Akankah Singapura Menyerahkan Buronan KTP-el ke Indonesia?
Contoh nyata adalah pemotongan anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp81,38 triliun. Akibatnya, 21 proyek infrastruktur, termasuk pembangunan 14 bendungan, proyek irigasi seluas 38.550 hektare, serta revitalisasi danau dan situ, terpaksa direlaksasi atau ditunda. Padahal, proyek-proyek ini sangat krusial untuk ketahanan pangan dan air, terutama di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Ironisnya, proyek-proyek vital ini dipangkas, sementara belanja perjalanan dinas dan rapat-rapat seremonial di berbagai kementerian masih marak.
Jika efisiensi hanya menyasar infrastruktur dan program pro-rakyat, tetapi mengabaikan kebocoran anggaran yang lebih besar di birokrasi, lalu di mana letak keadilannya?
Raja Kecil dan ASN Nakal
Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di Indonesia bak kerajaan kecil dengan segudang fasilitas mewah yang dinikmati segelintir pejabatnya. Para 'raja kecil' ini merasa kebal hukum, terbiasa dengan anggaran jumbo untuk perjalanan dinas, studi banding, hingga pertemuan yang lebih sering menjadi ajang wisata ketimbang menghasilkan kebijakan yang berdampak nyata.
Maka, tak mengherankan jika kebijakan efisiensi Prabowo menuai perlawanan. Para ASN dan pejabat yang selama ini menikmati ‘kemewahan’ dari APBN merasa terusik. Kegaduhan yang muncul belakangan ini sebagian besar dipicu oleh ASN nakal yang selama ini gemar menghamburkan uang negara untuk kegiatan yang tidak penting.
Baca Juga: Tom Lembong Gregetan! 3 Bulan Ditahan, Sidang Tak Kunjung Dimulai, Ada Apa?
Ketika pemerintah berusaha mengerem kebocoran anggaran, justru pihak-pihak yang paling diuntungkan dari sistem boros ini yang paling vokal menentang. Mereka berusaha menggiring opini seolah-olah efisiensi anggaran akan menghambat pelayanan publik. Padahal, akar masalahnya adalah budaya korup yang mengakar di dalam birokrasi itu sendiri.
Efisiensi yang Adil dan Berdampak