HUKAMANEWS - Keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, menimbulkan spekulasi liar di kalangan masyarakat. Perintah tegas untuk membongkar pagar ini telah memunculkan berbagai kontroversi, mulai dari ketidakselarasan antarkementerian hingga isu dugaan keterlibatan proyek besar seperti Pantai Indah Kapuk 2. Di balik polemik ini, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana pemerintah mampu menjalankan amanat hukum dengan tegas tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian?
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisisnya berpendapat bahwa kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga menjadi cerminan apakah kebijakan negara mampu berdiri tegak di atas landasan hukum dan keadilan sosial, atau justru terombang-ambing oleh tekanan pihak tertentu. Berikut ini ulasan lengkapnya.
***
DRAMA misteri keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, terus bergulir. Pagar bambu setinggi enam meter yang membentang di perairan tersebut menjadi sorotan publik setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegelnya dan mengultimatum pihak pemagaran untuk membongkar dalam waktu 20 hari sejak Jumat, 10 Januari 2025. Namun, hingga saat ini, kasus ini lebih banyak memunculkan pertanyaan daripada jawaban.
Baca Juga: Telusuri Jejak Sincia Hingga Berganti Nama Imlek di Indonesia
Perintah tegas Presiden Prabowo Subianto melalui Ketua MPR sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, untuk menyegel dan membongkar pagar laut tersebut tampaknya tidak berjalan mulus. Pada Sabtu, 18 Januari 2025, 600 personel TNI Angkatan Laut mendatangi garis pantai Tanjung Pasir untuk melaksanakan perintah pembongkaran. Namun, aksi tersebut justru menuai ketidakselarasan antarkementrian. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meminta pembongkaran ditunda dengan alasan perlunya kajian lebih mendalam.
Ketidaksepahaman ini menyoroti lemahnya koordinasi antarkementerian. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan bahwa pembongkaran tetap harus dilanjutkan karena merupakan arahan langsung dari Presiden. Namun, di sisi lain, Menteri Trenggono menyuarakan perlunya kehati-hatian dalam eksekusi untuk menghindari dampak hukum yang lebih luas.
Hingga kini, misteri tentang siapa dalang dan pendana pembangunan pagar laut ini belum terpecahkan. Dengan estimasi biaya sebesar Rp1,5 miliar, banyak pihak mempertanyakan bagaimana proyek besar seperti ini bisa luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan, isu yang berkembang mengaitkan pagar laut ini dengan proyek perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo. Namun, pihak pengembang telah membantah keterlibatan mereka.
Baca Juga: Mengintip Copenhill: Fasilitas Limbah Denmark yang Jadi Ikon Energi Hijau Dunia
Terbaru, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah tersebut setelah memeriksa dokumen yuridis, prosedur administrasi, dan kondisi fisik material tanah. Meski langkah ini menuai apresiasi dari beberapa pihak, ada juga kritik yang menyebut pencabutan sertifikat tersebut terlalu emosional dan tidak sepenuhnya memahami aturan perundang-undangan yang berlaku.
Memahami Hukum dan Keadilan
Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, definisi tanah meliputi permukaan bumi, tubuh bumi di bawahnya, serta yang berada di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang ada di danau atau sungai termasuk dalam definisi TANAH.
Pada 1 ayat (4) UUPA menyatakan, dalam pengertian Bumi, selain permukaan Bumi, termasuk pula tubuh Bumi, yang di bawahnya serta yang berada di bawah air. Khusus untuk tanah yang berada di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Spesifikasinya sbb: Bila yang dimanfaatkan adalah kolom airnya maka masuk dalam regulasi di wilayah otoritas Kementrian KKP untuk tingkat pusat, untuk tingkat daerah adalah Bupati atau dinas terkait.