HUKAMANEWS –Dunia memperingati Hari Antikorupsi setiap 9 Desember, sebagai pengingat pentingnya pemberantasan korupsi demi menciptakan pemerintahan yang bersih dan masyarakat yang adil. Ibarat masih jauh panggang dari api, pemberantasan korupsi di Indonesia kerap menemui jalan terjal. Korupsi masih menjadi persoalan akut yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, mulai dari politik hingga sektor pelayanan publik.
Pengamat politik dan hukum Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya menyebutkan bahwa sesungguhnya Indonesia telah memiliki berbagai instrumen pemberantasan korupsi, seperti KPK, undang-undang khusus yang mengantur pemberantasan tindak pidana korupsi, hingga peraturan pelaporan kekayaan pejabat. Namun, implementasi yang setengah hati sering menjadi penghalang utama. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
HARI ANTIKORUPSI Sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember bukan sekadar peringatan biasa. Ini adalah seruan mendesak bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama para pemimpin negara, untuk segera mengambil tindakan nyata dalam korupsi anggota.
Di Indonesia, masalah korupsi telah mencapai titik kritis, mengancam stabilitas negara dan kesejahteraan rakyat. Korupsi telah mengikis kepercayaan publik, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperparah kesenjangan. Tidak ada lagi waktu untuk menahannya.
Momentum ini harus menjadi pemicu bagi para pemimpin untuk bertindak tegas dan menyeluruh dalam melakukan pemberantasan korupsi hingga ke akarnya.
Komitmen Elite yang Masih Dipertanyakan
Indonesia telah memiliki berbagai instrumen pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), undang-undang khusus yang mengantur pemberantasan tindak pidana korupsi, hingga peraturan pelaporan kekayaan pejabat. Namun, implementasi yang setengah hati sering menjadi penghalang utama.
Di negeri ini, korupsi tetap merajalela. Dari sektor birokrasi hingga lembaga legislatif, praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan kekuasaan terus menjadi sorotan. Bahkan, kasus-kasus besar kerap melibatkan pejabat tinggi, menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi masalah individu, melainkan budaya yang mengakar.
Di sisi lain, hingga hari ini, banyak elite politik dan pejabat publik yang belum sepenuhnya mematuhi kewajiban seperti pelaporan harta kekayaan (LHKPN). Bahkan, transparansi sering dianggap formalitas belaka, bukan bentuk tanggung jawab moral.
Komitmen elite politik menjadi kunci. Namun, sering kali tindakan pemberantasan korupsi hanya berhenti pada retorika tanpa langkah nyata. Kasus-kasus besar yang tak kunjung diselesaikan hingga reformasi kelembagaan yang setengah hati menjadi bukti bahwa perang melawan korupsi membutuhkan perubahan fundamental dalam cara pemerintah dan elite politik bertindak.
Lagi-lagi, komitmen pemberantasan korupsi memerlukan langkah nyata, bukan sekadar retorika. Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang baru beberapa bulan menjabat, memikul harapan besar untuk membawa perubahan nyata. Namun, harapan ini hanya akan menjadi angan jika elite politik di bawah mereka tidak menunjukkan keteladanan dan keberanian menghadapi korupsi hingga ke akar-akarnya.