Ketidakhadiran negara menciptakan ruang abu-abu yang berbahaya: ruang udara diawasi oleh perusahaan, pergerakan logistik tidak terlihat, dan mobilitas tenaga asing tidak terpantau. Kritik publik pun menguat. Jika ingin menertibkan, tidak diperlukan banyak bicara. Tindakan tegas harus dilakukan terhadap siapapun, dari pejabat pusat hingga daerah. “Copot dan periksa semua pejabat yang selama ini terlibat,” demikian dorongan yang hidup di masyarakat. Kritik ini tidak dapat dianggap sebagai desakan emosional, tetapi peringatan terhadap melemahnya fungsi kontrol negara.
Negara seharusnya tidak hanya mengawasi, tetapi memastikan setiap entitas penerbangan tunduk pada hukum publik. Bandara tidak sekadar tempat keberangkatan dan kedatangan. Ia adalah pintu kedaulatan. Jika pintu itu dibiarkan dijaga oleh kepentingan privat, maka kedaulatan telah diperdagangkan.
Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat dan efektif. Audit regulasi mutlak dilakukan. Penegakan hukum harus menyentuh pejabat yang lalai, bukan hanya operator di lapangan. Transparansi perizinan dan pengelolaan bandara privat harus diatur secara ketat dan proaktif. Negara hadir bukan untuk menghambat pertumbuhan investasi, tetapi memastikan bahwa pertumbuhan itu tidak menyingkirkan prinsip dasar bernegara.
Kedaulatan tidak boleh tunduk pada investasi. Bandara tidak bisa lahir tanpa negara. Dan ruang udara tidak boleh dipinjamkan hanya karena ada industri yang tumbuh pesat. Jika negara ingin dihormati, ia harus terlebih dahulu menghormati dirinya sendiri dengan menegakkan hukum pada wilayah yang menjadi haknya.***
Artikel Terkait
Narasi Jahat di Balik Upaya Sistematis Menjatuhkan Jokowi dan Keluarganya
Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”
Soeharto dan Bayangan Orde Baru: Saat Bangsa Belajar Menatap Sejarah dengan Kearifan
Gaduh Ijazah Jokowi: Jejak Hoaks Berulang di Balik Kabut Polemik yang Difabrikasi
Jangan Lelah Mencintai Indonesia, Bahkan Saat Pengabdian Dibalas Bui