Putusan MK Soal Pemilu Serentak: Momentum Mendesain Ulang Demokrasi yang Berkeadilan

photo author
- Kamis, 3 Juli 2025 | 09:35 WIB
Ilustrasi kotak suara dalam pemilihan Kepala Daerah
Ilustrasi kotak suara dalam pemilihan Kepala Daerah

HUKAMANEWS - Pemilu serentak di Indonesia selama ini justru menimbulkan kerumitan yang melelahkan, menenggelamkan aspirasi lokal di bawah riuhnya narasi nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 membuka peluang menata ulang praktik demokrasi elektoral agar lebih adil, efektif, dan manusiawi. Namun di balik peluang itu, bentang jalan menuju reformasi pemilu tidak sederhana, sarat resistensi, dan berpotensi memicu kegamangan baru.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., pengamat hukum dan politik yang juga mantan Ketua Komisi III DPR RI dalam catatan analisis politiknya mengurai secara kritis bagaimana peluang dan tantangan pascaputusan MK dapat diolah menjadi momentum berharga untuk merawat kualitas demokrasi yang benar-benar berpihak pada kedaulatan rakyat.

***

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 layak disebut sebagai tonggak penting dalam ikhtiar merawat demokrasi Indonesia yang makin kompleks dan melelahkan. Dengan memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah — masing-masing diberi jeda minimal dua tahun — Mahkamah hendak membenahi kemacetan sistemik yang sudah lama menjadi keluhan publik.

Selama dua kali pemilu serentak sebelumnya, publik menyaksikan kerumitan luar biasa. Di satu sisi, para pemilih dipaksa menelan belasan kertas suara dan memilih ratusan calon dalam satu hari yang sama. Di sisi lain, petugas KPPS menghadapi beban kerja yang tidak manusiawi, bahkan menelan korban jiwa akibat kelelahan. Demokrasi seperti terjebak pada sekadar ritual prosedural, tanpa memperhatikan kualitas dan keselamatan warga yang menjalankannya.

Putusan MK ini, dengan sendirinya, memaksa negara untuk meninjau ulang cara kita berkompetisi politik secara lebih sehat, lebih manusiawi, dan lebih bermakna. Di tengah kontestasi elektoral yang makin mahal dan makin brutal, pembelahan jadwal pemilu nasional dan lokal membuka ruang bagi rakyat untuk benar-benar fokus menilai kandidat, program, serta visi yang ditawarkan, tanpa terdistorsi kebisingan kampanye nasional yang sering menenggelamkan persoalan daerah.

Bukan tanpa resistensi. Sejumlah partai besar, termasuk Nasdem dan Golkar, menyuarakan penolakan dengan dalih putusan MK bertabrakan dengan Pasal 22E UUD 1945. Dalihnya, semua pemilu legislatif semestinya dilakukan setiap lima tahun secara serentak. Namun logika itu terlalu menyederhanakan persoalan. Faktanya, MK tidak membatalkan prinsip pemilu lima tahunan, melainkan hanya menata ulang jadwal dan struktur pemilihannya agar lebih rasional dan adil.

Kita harus jujur mengakui, keserentakan penuh selama ini justru menjadi jebakan. Kedaulatan rakyat tidak pernah benar-benar berkualitas karena rakyat dipaksa memilih terlalu banyak dalam sekali waktu. Berbagai isu lokal, mulai dari pendidikan hingga kesehatan, tenggelam di bawah bayang-bayang narasi nasional yang bombastis. Akibatnya, rakyat hanya mencoblos sekadarnya, tanpa memahami utuh siapa yang akan menjadi wakilnya di tingkat daerah.

Sebab itu, putusan MK harus dibaca sebagai peluang untuk melakukan rekonstruksi pemilu — sebuah redesign demokrasi elektoral — agar kembali berpijak pada cita-cita konstitusi. Tidak hanya mempermudah penyelenggara, tetapi juga memulihkan makna pemilu sebagai proses deliberatif, bukan sekadar prosedur mencoblos lalu pulang.

Namun, momentum ini tak boleh dibuang percuma. Pemerintah dan DPR tidak bisa menunda-nunda revisi Undang-Undang Pemilu serta Undang-Undang Pilkada. Jika revisi dikerjakan asal-asalan, terburu-buru, atau hanya formalitas politik belaka, kita berpotensi menciptakan keruwetan baru. Sebaliknya, pembaruan regulasi mesti dilakukan dengan kajian yang mendalam, mendengar masukan publik, dan berpijak pada pengalaman dua pemilu serentak sebelumnya.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Proses transisi juga patut menjadi perhatian serius. Dengan jadwal yang berubah, akan muncul masa jabatan “menggantung” bagi kepala daerah atau anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu 2024. Pemerintah dan DPR harus segera menyiapkan mekanisme transisi yang adil, terbuka, dan transparan. Publik berhak tahu bagaimana periode kekosongan kekuasaan akan diisi, siapa yang berwenang menjalankan tugas sementara, serta bagaimana akuntabilitasnya dijaga.

Selain itu, aspek pembiayaan perlu dikalkulasi ulang. Memisahkan pemilu nasional dan lokal jelas memecah pos anggaran, dan berpotensi menimbulkan inefisiensi jika tidak dirancang cermat. Tetapi jika dihitung dengan tepat, pola pemilu terpisah ini justru bisa lebih efisien karena distribusi beban kerja dan distribusi biaya tidak menumpuk di satu titik waktu.

Mereka yang menolak putusan MK sering menuding lembaga ini inkonsisten dan terlalu jauh mencampuri domain kebijakan legislatif. Kritik itu tidak sepenuhnya salah — publik memang berhak mengawasi konsistensi putusan MK agar tidak menimbulkan kebingungan hukum. Namun dalam konteks putusan ini, Mahkamah tidak sedang menulis ulang Undang-Undang, tetapi sekadar menafsirkan kembali makna keserentakan demi perlindungan hak politik warga dan kualitas demokrasi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X