Prabowo dan Janji Antikorupsi: Rakyat Butuh Aksi, Bukan Narasi

photo author
- Selasa, 1 Juli 2025 | 06:39 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS - Korupsi masih menjadi musuh abadi bangsa ini, menodai keadilan dan mencuri kesejahteraan rakyat. Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan komitmen antikorupsi dalam pidato-pidatonya, menyerukan efisiensi anggaran dan manajemen yang bersih.

Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya mengingatkan, pidato hanya akan menjadi ilusi jika tidak segera diterjemahkan dalam tindakan nyata. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menegaskan bahwa rakyat membutuhkan aksi nyata, reformasi lembaga penegak hukum, dan regulasi progresif agar korupsi benar-benar ditakuti, bukan sekadar diperdebatkan. Saatnya membuktikan bahwa perang melawan korupsi bukan sekadar slogan. Berikut catatan lengkapnya. 

*** 

PRESIDEN Prabowo Subianto berulang kali mengumandangkan perang terhadap korupsi dalam pidato-pidatonya. Di atas podium, semangatnya tak pernah surut: efisiensi anggaran, manajemen bersih, hingga pemiskinan koruptor menjadi jargon yang terus diulang. Namun publik kini menuntut lebih dari sekadar retorika. Rakyat menanti arah yang jelas, langkah yang konkret, serta keberanian politik yang tak gentar menghadapi gurita korupsi. 

Prabowo sebenarnya tak perlu berpidato berapi-api setiap saat, apalagi menebar ancaman memburu koruptor hingga ke Antartika. Publik jauh lebih menantikan tindakan nyata, operasi senyap yang efektif, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Sejarah panjang negeri ini menunjukkan, dari rezim ke rezim, korupsi nyaris menjadi napas harian para elite rakus yang tak peduli pada penderitaan rakyat. Di kementerian, BUMN, hingga pemerintah daerah, kasus penyimpangan dana hibah, proyek fiktif, dan praktik kotor lain terus bergulir tanpa henti. Penanganannya lamban, aparat penegak hukum pun tak sebanding dengan masifnya kejahatan korupsi. 

Memang, komitmen verbal tidak boleh diremehkan. Dalam kultur birokrasi transaksional, pidato presiden adalah sinyal moral penting bagi jajaran di bawahnya. Namun pidato tidak pernah cukup untuk menjerat maling uang rakyat. Ia tak menimbulkan efek jera, apalagi memaksa perubahan struktural. Yang benar-benar dibutuhkan rakyat adalah kepemimpinan yang mampu mentransformasi janji menjadi kebijakan, dan idealisme menjadi reformasi. 

Agenda pemberantasan korupsi harus menjelma garis kebijakan nyata, diterjemahkan ke dalam regulasi, pembenahan kelembagaan, serta reformasi institusi hukum. Di sinilah ujian terbesar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Warisan pemerintahan sebelumnya sudah berat: KPK yang melemah, payung hukum yang kian rapuh, serta aparat penegak hukum yang tercecer dalam titik nadir kepercayaan publik. 

Sampai hari ini, belum tampak langkah konkret dari pemerintah untuk menguatkan kembali KPK—baik melalui revisi undang-undang maupun penguatan kewenangan lembaga itu. RUU Perampasan Aset, yang seharusnya menjadi simbol ketegasan negara untuk memiskinkan koruptor, masih tersandera. RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal pun tak kunjung diprioritaskan. Padahal regulasi-regulasi semacam ini adalah fondasi untuk menopang sistem hukum antikorupsi yang kokoh. 

Sebaliknya, upaya reformasi institusi penegak hukum justru berjalan tersendat. Presiden memang sempat berencana menaikkan gaji hakim, tetapi publik paham betul: korupsi bukan semata persoalan gaji kecil. Korupsi adalah soal integritas yang keropos, pengawasan yang lemah, dan sistem yang membuka ruang kompromi. Tanpa reformasi menyeluruh terhadap rekrutmen, mekanisme pengawasan, dan disiplin aparat, kita hanya akan kembali pada ironi lama: pagar makan tanaman.

Kasus jual beli perkara di Mahkamah Agung, yang menyeret pejabat tinggi dan menyita uang tunai hingga emas batangan, menelanjangi betapa rusaknya ekosistem hukum kita. Yang lebih mencemaskan, negara tampak tidak merespons tragedi ini sebagai darurat moral. Jika hakim pun bisa dibeli, ke mana rakyat harus mengadu? 

Presiden Prabowo tentu tidak memikul semua beban seorang diri. Namun di titik ini, rakyat menunggu ketegasan pemimpin tertinggi negeri. Regulasi strategis harus segera dibawa ke DPR, KPK perlu dibebaskan dari cengkeraman politik, dan seluruh aparat penegak hukum wajib menerima pesan tegas: tidak ada toleransi bagi pelanggar etik dan koruptor, termasuk di lingkaran mereka sendiri. 

Di saat yang sama, publik juga menagih langkah tegas pemerintah terhadap buronan kelas kakap seperti Paulus Tannos, tersangka kasus korupsi KTP-el yang kini bersembunyi di luar negeri. Jika negara gagal memulangkannya, itu akan menjadi preseden pahit—mengingatkan publik pada kasus Sudjiono Timan atau Djoko Tjandra, yang berhasil menghindari jerat hukum. Diplomasi ekstradisi dan penegakan keadilan lintas batas harus dihidupkan, agar perang melawan korupsi tidak berhenti di slogan. 

Sesungguhnya, tak ada yang membela pencuri uang rakyat. Masyarakat Indonesia sudah satu suara: korupsi adalah musuh bersama. Yang kita perlukan hanya kemauan politik dan keberanian untuk menabrak zona nyaman oligarki. Presiden Prabowo memiliki legitimasi kuat, dengan dukungan rakyat yang menaruh harapan besar padanya. Jangan biarkan amanah itu tergilas kompromi. 

Negara ini membutuhkan keteladanan, bukan basa-basi. Butuh tindakan, bukan sekadar anjuran. Saatnya Presiden Prabowo berhenti berbicara dan mulai bertindak—bukan hanya demi memenuhi ekspektasi publik, tetapi untuk mengembalikan marwah republik: bahwa hukum adalah panglima, dan tidak ada satu pun orang, seberkuasa apa pun dia, yang kebal dari pertanggungjawaban.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X