Inspirasi: Operasi Bandar Politik Jelang 2024

photo author
- Sabtu, 7 Mei 2022 | 15:40 WIB
Ilustrasi. Cukong Demokrasi.
Ilustrasi. Cukong Demokrasi.


Hanya akhlak dan etika berpolitik yang tetap berpegang teguh pada Pancasila yang menjadi benteng terakhir untuk menjaga marwah demokrasi agar tak tergadai oleh ‘operasi senyap’ para bandar politik di negeri ini.


HukamaNews - Rasanya sila pertama Pancasila belum berubah menjadi “Keuangan yang Mahakuasa". Tapi dalam kenyataannya, terlalu banyak urusan di negeri ini yang diselesaikan dengan uang. Mulai dari perebutan proyek pembangunan, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bahkan pemilihan Presiden. Kekuasaan uang membuat tumpul akal sehat. 

Pertarungan finansial (money politics) di dalam kontestasi politik di tanah air telah menjadi rahasia umum. Keberadaan bandar politik menjadi keniscayaan. Sebab, biaya untuk maju menjadi calon bupati, calon gubernur, bahkan calon presiden memerlukan dana besar. Konon, dana ratusan juta hingga ratusan milyar harus disiapkan untuk memuluskan langkah merebut kursi panas. 

Pada titik inilah para bandar politik ( baca: kelompok oligarki) datang menawarkan ‘dukungan’. Bahkan ada pengusaha yang konon telah menyiapkan dana triliyunan rupiah untuk kontestasi pemilihan presiden. Tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis. Ujung dari partisipasi ini jelas: jatah proyek, hingga jabatan tertentu di pemerintahan. 

Berbicara pada tataran ideal, harusnya partai politik mampu berdiri di kaki sendiri, mandiri. Karena, parpol adalah ‘mesin’ pencetak calon pemimpin. Bila mereka tergadaikan, bagaimana bisa menghasilkan pemimpin yang baik dan berintegritas yang akan mengawal negeri menuju kejayaan. 

Mereka harus sadar untuk bisa menjaga jarak dengan para bandar politik, alih-alih melayani kepentingan kelompok oligarki yang kerap lengket dengan kalangan elit politik dan pemerintahan. Karena, para bandar politik itulah yang membuat demokrasi yang seharusnya berada di tangan rakyat menjadi tergadaikan. Dengan modus ‘atas nama rakyat’ kelompok bandar politik ini menyisipkan agenda-agenda besar untuk mengeruk cuan sebesar-besarnya bagi kepentingan kelompoknya. 

Membaca Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden 

Masih terkait soal ‘kepentingan’ kelompok bandar politik, belakangan muncul wacana penundaan Pemilu Serentak 2024 disertai dengan penambahan masa jabatan Presiden semakin santer digaungkan sejumlah pejabat. 

Wacana itu dilontarkan oleh dari ketua umum partai politik hingga menteri di Kabinet Indonesia Maju. Sebut saja, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan hingga Menko Marvest Luhut Binsar Pandjaitan yang secara terang-terangan mengklaim melalui analisis big data, sebagian rakyat Indonesia ingin Pemilu 2024 ditunda dan jabatan presiden diperpanjang. 

Masalah ekonomi mendasari wacana usulan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. Dua tahun dihantam badai pandemi Covid-19 membuat perekonomian mandeg. Pemilu dan Pilpres yang yang  ditunda, akan memberi ruang bagi negara untuk ‘bernapas’ menata perekonomian lagi. Terlebih untuk menghelat sebuah pesta demokrasi di negeri berpenduduk lebih dari seperempat milyar jiwa ini butuh biaya besar. Begitu mereka beralasan. 

Pertanyaannya, benarkah usulan menunda pemilu dan memperpanjang jabatan presiden semata-mata hanya untuk memberi ruang bagi negara untuk menata kembali perekonomiannya? Tak banyak yang percaya dengan pernyataan yang terkesan mulia, namun penuh dengan ‘sesuatu’ itu. Tak salah pula bila muncul gunjingan publik bahwa usulan perpanjangan masa jabatan presiden tak lebih dari pesanan kelompok oligarki untuk mengamankan cengkeraman bisnis mereka yang telah menyusup ke sendi-sendi pemerintahan dengan berbagai macam wujud.  

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menolak wacana tiga periode, apa yang ia katakan "menampar muka saya". Penundaan Pemilu 2024 berimplikasi terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo dan Wakilnya, Maruf Amin. 

Jauh sebelum ini, wacana tiga periode Presiden Jokowi juga mengemuka dan menimbulkan polemik pada November 2019. Dilansir dari Tempo, wacana ini berawal dari seorang anggota DPR dari Partai Nasdem yang menginginkan masa jabatan presiden diperbolehkan 3x5 tahun. 

Selain itu, Ketua Fraksi Partai Nasdem, Johnny G. Plate juga mengeluarkan wacana ini. Wacana ini dilancarkan di saat MPR tengah menggodok usulan amandemen UUD 1945. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X