Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan

photo author
- Minggu, 9 November 2025 | 06:05 WIB
Ahsan Jamet Hamidi, mantan Staf WALHI
Ahsan Jamet Hamidi, mantan Staf WALHI

 

HUKAMANEWS - Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mengemuka dan memantik perdebatan publik. Sebagian pihak menilai jasa dan pengaruh Soeharto terhadap pembangunan nasional layak dikenang melalui gelar kehormatan tersebut, sementara lainnya menyoroti sisi gelap kekuasaan Orde Baru yang dinilai meninggalkan luka sosial dan pelanggaran kebebasan sipil.

Dalam tulisan opininya, Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan, menegaskan pandangannya yang berbeda terhadap usulan tersebut. Melalui refleksi pengalaman pribadi sejak masa Orde Baru hingga kini, ia menyuarakan alasan moral dan historis mengapa gelar pahlawan bagi Soeharto sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

***

TAHUN 2025 ini, Kementerian Sosial mengajukan 40 nama tokoh nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) untuk dipertimbangkan menjadi pahlawan nasional. Salah satu nama yang diajukan adalah Soeharto. Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, menjelaskan bahwa proses pengusulan pahlawan nasional berasal dari masyarakat, dimulai dari tingkat kabupaten atau kota, lalu diteruskan ke provinsi, dan akhirnya diserahkan kepada Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).

Baca Juga: Fakta Mengejutkan Ledakan SMAN 72 Jakarta, Ada 3 Bom Rakitan, 1 Tak Meledak, Polisi Curigai Motif Dendam Korban Perundungan

Tim independen ini dibentuk oleh Kementerian Sosial dan bertugas meneliti serta mengkaji usulan pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan kepada tokoh yang dianggap layak. Tim ini beranggotakan 13 orang yang terdiri atas praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan perwakilan instansi terkait. Hasil kajian tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Sosial untuk diteruskan kepada Dewan GTK. Salah satu nama yang masuk daftar calon pahlawan nasional adalah mantan Presiden Soeharto, yang juga diusulkan oleh masyarakat.

Sepanjang hidup saya, perbedaan pandangan tentang sosok Soeharto sudah beberapa kali terjadi. Saat remaja, saya pun berbeda sikap dengan kakak-kakak saya yang mendukung Soeharto pada masa Orde Baru. Saya adalah satu-satunya anggota keluarga yang bukan PNS, sementara kelima kakak saya berprofesi sebagai guru berstatus PNS.

Saya memahami sikap mereka. Pada masa itu, siapa pun yang dianggap tidak mendukung program pemerintah berisiko mendapat sanksi atau dikucilkan dari lingkungan aparatur negara. Alih-alih mendapat promosi, karier mereka bisa terhambat. Karena bukan PNS, saya memiliki kebebasan dalam menentukan sikap politik. Dalam Pemilu 1987, saya memilih untuk tidak mendukung Golkar sebagai bentuk penegasan atas kebebasan tersebut.

Baca Juga: Menyalakan Energi Berdaulat dari Pelosok Nusantara, Merangkai Inspirasi dari Kisah Nyata

Ketika Orde Baru dan Soeharto tumbang pada 1998, saya sempat mengira perbedaan pandangan soal Soeharto akan berakhir. Namun, setelah ia wafat dan lama dimakamkan, isu itu kembali mencuat. Sikap saya tetap sama seperti puluhan tahun lalu: kepemimpinan Soeharto dan Orde Baru merupakan contoh buruk dalam praktik demokrasi di negara majemuk seperti Indonesia.

Sejak remaja, saya menyaksikan sendiri bagaimana tetangga saya mengalami intimidasi dan kekerasan aparat hanya karena menolak sawahnya ditanami tebu. Ketika ayah saya menebang pohon jati miliknya sendiri, keesokan harinya ia harus berurusan dengan Perhutani, kepolisian, dan tentara karena dianggap tidak memiliki izin. Bahkan, pohon dari lahan sendiri bisa dianggap berasal dari hutan negara. Proses memperbaiki rumah dengan kayu milik sendiri menjadi rumit, panjang, dan sering kali membutuhkan biaya tambahan akibat praktik pungutan liar.

Saat dewasa, sebagai pegiat teater, saya harus melalui proses perizinan yang panjang hanya untuk berlatih dan mementaskan karya. Setiap pertemuan dengan lebih dari sepuluh orang wajib memiliki izin; jika tidak, kami bisa dituduh melakukan makar terhadap pemerintah. Saat pementasan berlangsung, ancaman pembubaran selalu membayangi jika ada dialog yang dianggap menyinggung kekuasaan.

Baca Juga: Ekokrasi: Keadilan Lingkungan dan Peran Agama di Indonesia

Halaman:

Artikel Selanjutnya

“Mental Stunting” Pejabat

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Jukung Julak: Rumah Makan yang Menyimpan Ribuan Doa

Rabu, 19 November 2025 | 20:13 WIB

Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan

Minggu, 9 November 2025 | 06:05 WIB

45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus

Jumat, 17 Oktober 2025 | 15:38 WIB

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan

Senin, 31 Maret 2025 | 13:18 WIB
X